Risiko Banjir Perkotaan dan Upaya Penanggulangannya

Risiko Banjir Perkotaan dan Upaya Penanggulangannya

I.                   Pendahuluan

            Indonesia berlokasi di wilayah rawan terhadap berbagai kejadian bahaya alam, yaitu bencana geologi (gempa,gunung api, longsor, tsunami dan sebagainya) dan hidrometeorologi (banjir, kekeringan, pasang surut, gelombang besar, dan sebagainya). BAKORNAS PB mencatat antara tahun 2003-2005 telah terjadi 1.429 kejadian bencana di Indonesia. Sebagian dari kejadian bencana tersebut (53,3%) merupakan bencana hidrometeorologi. Dari total bencana hidrometeorologi, yang paling sering terjadi adalah banjir (34,1 persen dari total kejadian bencana di Indonesia) diikuti oleh tanah longsor (16 persen).
            Banjir yang sering terjadi di beberapa bagian di dunia termasuk di Indonesia merupakan peristiwa alam yang tidak dapat dicegah. Peristiwa banjir merupakan akibat dari berbagai sebab. Misalnya hujan deras dan lama serta kondisi daerah pengaliran sungai yang tidak mampu menahan air hujan, akan menimbulkan aliran permukaan yang besar. Bila palung sungai tidak mampu lagi menampung aliran permukaan yang besar terjadilah banjir.
            Bencana banjir di Indonesia yang terjadi setiap tahun terbukti menimbulkan dampak pada kehidupan manusia dan lingkungannya terutama dalam hal korban jiwa dan kerugian materi. Sebagai contoh pada tahun 2006 banjir bandang di daerah Jember Jawa Timur telah menyebabkan 92 orang meninggal dan 8.861 orang mengungsi serta di daerah Trenggalek telah menyebabkan 18 orang meninggal. Di Manado (Provinsi Sulawesi Utara) juga terjadi banjir disertai tanah longsor yang menyebabkan 27 orang meningal dengan jumlah pengungsi mencapai 30.000 orang. Banjir disertai tanah longsor juga melanda Sulawesi Selatan pada bulan Juni 2006 dengan korban lebih dari 200 orang meninggal dan puluhan orang dinyatakan hilang (data BAKORNAS PB, 23 Juni 2006 dalam RAN PRB).
            Di DKI Jakarta, akibat banjir lima tahunan yang terjadi sejak tahun 1996, kota ini menderita kerugian milyaran rupiah. Bahkan banjir lima tahunan 2002 dan 2007 serta banjir tahunan 2008, berdampak pada dunia bisnis. Banyak area bisnis di Jakarta tidak bisa menjalankan aktivitas bisnisnya dan kegiatan di Bandara terganggu akibat akses jalan ke Bandara yang tergenang.

            Banjir perkotaan merupakan tantangan pembangunan yang serius dan semakin meningkat. Dengan latar belakang pertumbuhan demografik, kecenderungan urbanisasi dan perubahan iklim, penyebab banjir mengalami pergeseran dan dampaknya semakin meningkat. Dampak dari banjir perkotaan juga sangat khusus karena konsentrasi penduduk dan aset-aset yang lebih besar berada pada lingkungan perkotaan. Hal ini tentu membuat kerusakan-kerusakan semakin banyak dan mahal.     
            Perkembangan suatu kota secara fisik, dicirikan oleh meningkatnya jumlah sarana dan prasarana dan infrastrukturnya yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan berubahnya penggunaan tanah. Perubahan penggunaan tanah yang pada awalnya bersifat pedesaan, kini berubah menjadi wilayah urban (perkotaan). Dalam kaitannya dengan siklus hidrologi, memperlihatkan bahwa karakteristik tanah pedesaan, mampu mengendalikan proses sirkulasi hujan secara alamiah, karena daya dukung kemampuan tanah terhadap resapannya; berbeda dengan penggunaan tanah di perkotaan, karena padatnya bangunan pancang dan beton, hingga menyebabkan pengaturan air secara alamiah relatif terganggu dan dicirikan oleh besaran laju limpasan air, bahkan karena kurang mampunya daya tampung aliran (saluran drainase dan bandan sungai), sering menyebabkan genangan (banjir).Kota-kota di Indonesia pada umumnya terletak pada wilayah dataran banjir, baik di pinggir sungai maupun ditepi pantai. Pembangunan pemukiman pada wilayah-wilayah dataran banjir, secara ekonomis cukup memberikan rangsangan keminatan bagi penghuninya; selain hamparannya relatif datar, tanahnya subur, dan harganya relatif terjangkau. Namun demikian lokasi pemukiman yang cukup strategis serta secara ekonomis sering memiliki resiko besar terhadap genangan (banjir). Hal ini mengingat bahwa pemilihan lokasi lebih cenderung pada kantong-kantong air, atau lahan basah yang dialih fungsikan menjadi komplek-komplek pemukiman.
            Melihat jumlah korban dan kerugian yang timbul akibat banjir tersebut, maka penting bagi kita untuk melakukan kesiapan dan pencegahan terhadap bencana banjir ini. Salah satu yang dapat dilakukan adalah mengenal bencana banjir, fenomenanya serta bagaimana upaya upaya untuk menghadapi bencana banjir.



II.                Tantangan Banjir Perkotaan

            Banjir merupakan fenomena global yang dapat menyebabkan penderitaan yang meluas, kerusakan-kerusakan ekonomi dan hilangnya nyawa manusia.  Wilayah-wilayah perkotaan yang rentan terhadap risiko banjir semakin ditempa dengan hasil pengamatan yang menunjukan peningkatan dampak banjir diseluruh dunia. Tingkat dampak banjir yang ada pada saat ini dan ke depan menuntut semakin mendesaknya untuk membuat pengelolaan risiko banjir di wilayah tempat tinggal perkotaan sebagai prioritas tinggi dalam agenda politik dan kebijakan. Memahami sebab-sebab dan efek-efek dampak banjir dan melakukan rancangan, investasi dan implementasi tindakan-tindakan banjir yang meminimalisasi risiko merupakan kewajiban dari pemikiran arus utama pembangunan dan merupakan bagian dari tujuan-tujuan pembangunan yang lebih luas. Banjir memengaruhi semua jenis tempat tinggal perkotaan, dari desa-desa kecil hingga kota pasar menengah dan pusat-pusat layanan.
Negara-negara mendefenisikan kata “urban” dengan berbagai cara, sehingga membuat definisi banjir kota sulit untuk medapatkan konsistensi. Statistik kerugian tidak biasa diklasifikasikan oleh lokasi kota atau desa, sehingga membuatnya sulit untuk secara proporsional megukur kerugian antara populasi perkotaan dan pedesaan. Namun demikian, terdapat perbedaaan fungsional antara banjir perkotaan dan pedesaan. Bila banjir pedesaan memengaruhi sebagian besar wilayah lahan dan bagian termiskin dari populasi, banjir perkotaan lebih besar biaya kerugiannya dan sulit untuk dikelola. Dampak dari banjir perkotaan juga sangat khusus karena konsentrasi penduduk dan aset-aset yang lebih besar berada pada lingkungan perkotaan. Hal ini tentu membuat kerusakan-kerusakan semakin banyak dan mahal. Tempat tinggal perkotaan juga mengandung mayoritas atribut-atribut ekonomi dan sosial dan aset-aset yang berbasis populasi nasional, sehingga banjir perkotaan yang menyebabkan kerusakan dan gangguan dari cakupan air banjir yang sebenarnya sering kali menyebabkan konsekuensi sosial untuk masyarakat.
            Dampak-dampak langsung dari kejadian-kejadian utama menggambarkan risiko terbesar untuk kehidupan dan properti. Pengaruh dampak secara tidak langsung dalam jangka panjang, seperti munculnya penyakit, penurunan nutrisi dan kesempatan edukasi, hilangnya mata pencaharian, juga dapat mengikis ketahanan masyarakat dan tujuan-tujuan pembangunan, sebagaimana kebutuhan untuk dapat mengatasi banjir yang terjadi secara reguler dan berskala kecil. Dampak tidak langsung akan lebih sulit untuk diidentifikasi secara cepat dan dihitung kerugiannya secara kuantitas dan nilai. Akan tetapi, mereka yang miskin dan rentan biasanya menderita paling banyak dari risiko banjir.
            Urbanisasi, sebagai fitur utama definisi pertumbuhan demografik dunia, sudah pasti terlibat dan merupakan penyebab risiko banjir. Pada tahun 2008, untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, setengah dari penduduk dunia tinggal di daerah perkotaan, yang dua-pertiganya berada di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Hal ini diperkirakan akan meningkat ke 60 persen pada tahun 2030, dan 70 persen pada tahun 2050 dengan jumlah 6.2 milyar, atau dua kali lipat dari proyeksi populasi pedesaan pada saat itu. Mengingat bahwa populasi perkotaan menunjukan porsi terbesar penduduk dunia, banjir perkotaan akan mencakup kenaikan terbesar dari dampak banjir secara keseluruhan. Banjir perkotaan dengan demikian menjadi semakin bahaya dan semakin merugikan untuk dikelola karena begitu besarnya populasi yang terpapar dalam wilayah tinggal perkotaan. Ini akan memengaruhi semua ukuran tempat tinggal: yang diperkirakan pada tahun 2030 adalah 75 aglomerasi dari lima juta penduduk, populasi kota pada setiap kelas sosial juga akan meningkat. Pada tahun 2030 mayoritas penghuni perkotaan akan tinggal di kota-kota dengan populasi kurang dari satu juta orang yang memiliki infrastruktur dan insititusi yang tidak dapat mengatasi banjir. Pengelolaan risiko banjir perkotaan bukan saja merupakan isu yang muncul pada kota skala besar
            Urbanisasi dengan perencanaan dan pengelolaan yang tidak baik memberi konstribusi dalam meningkatnya ancaman banjir karena perubahan penggunaan lahan secara tidak layak. Dengan semakin membengkaknya dan bertumbuhnya kota-kota ke arah luar untuk mengakomodasi pertumbuhan populasi, ekspansi perkotaan dalam skala besar dalam bentuk pembangunan yang tidak terencana untuk dataran banjir, di wilayah pesisir maupun darat, maupun di daerah banjir itu sendiri.
Di negara-negara berkembang, porsi tertinggi pertumbuhan populasi kota dan ekspansi wilayah terjadi pada lokasi tinggal terpadat, kualitas tempat tinggal informal berkualitas rendah yang dikenal dengan istilah ‘kumuh’. Kawasan tersebut berada pada pusat kota ataupun pinggiran, baik yang dekat maupun jauh, dan seringkali berada pada risiko tertinggi. Konsentrasi kaum miskin di wilayah ini, yang secara umum tidak memiliki tempat tinggal, infratruktur dan provisi layanan yang layak, meningkatkan risiko banjir dan menekankan bahwa dampak banjir lebih buruk bagi yang terpuruk. Meningkatnya dampak-dampak banjir perkotaan yang harus menjadi perhatian para pembuat keputusan semakin dipengaruhi oleh pembangunan yang berada di luar pencegahan banjir yang sudah ada; peningkatan dalam pembuatan jalan dan lapisan-lapisan impermeable; kepadatan berlebih, penambahan densitas dan kongesitas; keterbatasan drainase, tua atau dikelola dengan buruk, sanitasi dan infrastruktur limbah padat; ekstrasi air tanah yang berlebih sehingga menjurus ke penurunan tanah, dan terbatasnya aktivitas pengelolaan risiko banjir. Banjir perkotaan dengan demikian menjadi semakin bahaya dan semakin merugikan untuk dikelola karena begitu besarnya populasi yang terpapar dalam wilayah tinggal perkotaan.

III.             Penyebab Banjir Perkotaan

            Banjir sebenarnya bukan merupakan suatu permasalahan selama peristiwa tersebut tidak menimbulkan bencana bagi manusia; akan tetapi begitu banjir telah mengancam kehidupan manusia, maka dimulailah upaya untuk mencegahnya. Beberapa pakar menjabarkan bahwa penyebab banjir diilustrasikan sebagai interaksi dari berbagai faktor lingkungan alamiah (fisik) seperti curah hujan, kondisi topografi, serta lingkungan sosial yang erat kaitannya dengan perubahan tata guna tanah khususnya di wilayah perkotaan. Fenomena banjir yang terjadi, pada dasarnya disebabkan oleh dua hal yaitu:
1.      Pertama, kondisi dan peristiwa alam, yang meliputi:
a)      intensitas curah hujan yang terjadi pada bulan-bulan tertentu, hingga mencapai lebih dari 100 mm dalam 10 menit.
b)      topografi wilayah yang merupakan dataran rendah dengan lereng relatif landai, serta bentang cekungan sebagai kawasan tandon air.
c)      secara geologi tanah-tanah tertentu termasuk golongan tanah yang kedap air sehingga air mengalami kesulitan untuk berinfiltrasi.
d)     penyempitan alur sungai dan pendangkalan sungai akibat pengendapan material-material yang dibawa dari hulu ikut memberi andil penyebab banjir.
e)      pada saat terjadinya pasang naik air laut terjadi hujan dan air sungai yang menuju laut terbendung oleh pasang naik akibatnya air melimpah kedaratan.
2.      Kedua sebagai akibat dari aktivitas manusia, yang meliputi :
a)      perubahan penggunaan tanah dari yang semula merupakan situ, rawa, sawah, kebun, tanah kosong, dialih fungsikan menjadi penggunaan tanah menjadi permukiman, atau bangunan sarana-sarana lainnya.
b)      penebangan liar pada hutan di wilayah hulu sebagai daerah tangkapan air (catchment area); hingga bukan saja berakibat terhadap terjadinya banjir akan tetapi juga terhadap kekeringan pada musim kemarau.
c)      penyempitan bantaran sungai, sebagai akibat dari okupasi penduduk.
d)      penduduk berprilaku yang kurang memahami pentingnya pernan fungsi sungai, serta saluran drainase, dan pembuangan limbah (sampah).
e)      kurangnya teknik penyerasian bentuk-bentuk pembanghunan saluran drainase yang erat kaitannya dengan karakteristik fisik wilayah perkotaan.
            Pendapat tentang fenomena banjir di wilayah perkotaan, ditinjau dari sistem DAS yang dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik dan karakteristik curah hujannya; dan secara garis besardisebabkan oleh pembangunan pemukiman di dataran banjir; perubahan penggunaan tanah; curah hujan yang tinggi, dan saluran badan sungai mengecil, serta pendangkalan yang terjadi pada badan-badan sungai. Banjir merupakan peristiwa terjadinya genangan di dataran banjir akibat luapan air sungai yang disebabkan debit aliran melebihi kapasitasnya. Selain akibat luapan air sungai, banjir dapat terjadi akibat hujan yang lebih karena kondisi setempat tidak lagi mampu mengalirkannya.
            Kawasan perkotaan dapat terkena banjir karena sungai, pesisir pantai, curah hujan dan luapan air tanah, serta kegagalan sistem artifisial. Banjir perkotaan berawal dari kombinasi penyebab-penyebab yang merupakan hasil dari kombinasi kejadian meteorologis dan hidrologis, seperti pengendapan dan aliran yang ekstrim. Akan tetapi juga dapat sering terjadi karena kegiatan-kegiatan manusia, termasuk pertumbuhan dan perkembangan kota yang tidak terencana untuk dataran banjir, atau dari kerusakan bendungan atau tanggul yang gagal dalam melindungi pembangunan yang telah direncanakan.
            Dalam empat dasawarsa terakhir ini, peningkatan jumlah penduduk Jakarta yang berlangsung pesat telah menyebabkan kawasan resapan air berkurang drastis karena beralih fungsi menjadi daerah permukiman dan industri. Lahan terbuka digantikan oleh rumah dan bangunan, dan yangtersisa pun ditutupi oleh jalan aspal atau pelataran parkir sehingga tidak mampu menyerap air. Air hujan yang tidak teresap berubah menjadi aliran permukaan yang mengalir ke sungai, yang selanjutnya dialirkan ke laut sesuai kapasitas sungai-sungai yang ada dalam menampung air tersebut. Dalam jumlah besar, air hujan yang tidak tertampung akan menjadi banjir. Terjadinya banjir akan tergantung pada tingginya curah hujan di hulu dan di wilayah Jakarta sendiri, volume sampah yang membuat sungai-sungai menjadi mampet dan dangkal, serta pasang surutnya air laut. Bila salah satu faktor yang disebutkan ini sedang berada dalam keadaan tidak normal, terjadilah banjir dan genangan air di beberapa kawasan yang rendah di ibukota. Bila semua faktor berada dalam keadaan tidak normal, banjir besar akan menimpa Jakarta. Salah satu faktor penting dalam tata kelola air di Jakarta adalah perubahan musim dan pola curah hujan yang terjadi karena perubahan iklim. Ketika curah hujan di Jakarta tinggi, terjadilah banjir, tetapi pada musim kering hal sebaliknya terjadi, air menjadi langka dan tinggi permukaan air di sungaisungai menurun dratis. Dalam konteks nasional, sebagian besar wilayah di Sumatra, misalkan saja, selama kurun waktu tahun 1960-1990 dan 1991- 2003 mengalami keterlambatan awal musim hujan antara 10 sampai 20 hari dan keterlambatan awal kemarau antara 10 hingga 60 hari. Fluktuasi curah hujan adalah bagian dari perubahan pola dan variabilitas iklim yang merupakan salah satu dampak perubahan iklim yang kini terjadi di seluruh dunia termasuk di Indonesia.
            Salah satu dampak perubahan iklim global pada Kota Jakarta adalah kenaikan paras muka air laut. Pemuaian air laut dan pelelehan gletser dan lapisan es di kutub menyebabkan permukaan air laut naik antara 9 hingga 100 cm. Kenaikan paras muka air laut dapat mempercepat erosi wilayah pesisir, memicu intrusi air laut ke air tanah, dan merusak lahan rawa pesisir serta menenggelamkan pulau-pulau kecil. Kenaikan tinggi muka air laut antara 8 hingga 30 centimeter akan berdampak parah pada Kota Jakarta yang rentan terhadap banjir dan limpasan badai. Di Ibukota masalah ini diperparah dengan turunnya permukaan tanah akibat pendirian bangunan
bertingkat dan pengurasan air tanah secara berlebihan. Suatu penelitian memperkirakan bahwa kenaikan paras muka air laut setinggi 0,5 meter dan penurunan tanah yang terus berlanjut dapat menyebabkan enam lokasi di Jakarta dengan total populasi sekitar 270.000 jiwa terendam secara
permanen, yakni di kawasan Kosambi, Penjaringan dan Cilicing dan tiga lagi di Bekasi yaitu di Muaragembong, Babelan dan Tarumajaya.

IV.             Pengendalian Banjir Perkotaan

            Merupakan kegiatan perencanaan, pelaksanaan pekerjaan pengendalian banjir, eksploitasi dan pemeliharaan, yang pada dasarnya untuk mengendalikan banjir, pengaturan penggunaan daerah dataran banjir dan mengurangi atau mencegah adanya bahaya/kerugian akibat banjir. Ada 4 strategi dasar untuk pengelolaan daerah banjir yang meliputi (Grigg, 1996) :
a)      Modifikasi kerentanan dan kerugian banjir (penentuan zona atau pengaturan tata guna lahan)
b)      Modifikasi banjir yang terjadi (pengurangan) dengan bantuan pengontrol (waduk) atau normalisasi sungai.
c)      Modifikasi dampak banjir dengan penggunaan teknis mitigasi seperti asuransi, penghindaran banjir (flood profing)
d)     Pengaturan peningkatan kapasitas alam untuk dijaga kelestariannya seperti penghijauan.
            Pendekatan pengelolaan risiko banjir yang terintegrasi merupakan kombinasi dari tindakan-tindakan pengeloaan risiko banjir, bila diterapkan secara keseluruhan, dapat berhasil dalam mengurangi risiko banjir.
            Tindakan-tindakan pengelolaan banjir biasanya dideskripsikan sebagai struktural dan non-struktral. Tindakan-tindakan struktural bertujuan untuk mengurangi risiko banjir dengan mengendalikan aliran air dari luar maupun dari dalam tempat tinggal perkotaan. Tindakan ini merupakan pelengkap dari tindakan-tindakan non-struktural yang berusaha menjamin bahwa masyarakat aman terhadap banjir dengan memimiliki perencanaan dan pengelolaan pengembangan perkotaan. Strategi terintegrasi yang komprehensif seharusnya dikaitkan dengan perencanaan perkotaan dan kebijakan dan praktek-praktek sebelumnya. Tindakan-tidakan struktural dan non-struktural tidak mendahului kepentingan satu sama lain, dan strategi-strategi yang berhasil biasanya mengkombinasikan keduanya. Penting juga untuk mengakui tingkat dan karakterisik dari risiko saat ini dan perubahan ke depan agar dapat mencapai keseimbangan investasi jangka pendek dan panjang dalam pengelolaan risiko banjir. Namun dengan akselerasi urbanisasi dan perubahan iklim secara bersamaan, kemungkinan perlu untuk menjauh dari ketergantungan yang berlebih terhadap perlindungan-perlindungan rekayasa fisik ke arah solusi-solusi non-struktural yang lebih adaptif dan bertahap. Rangkaian tindakan-tindakan dapat bersifat struktural seperti perlindungan banjir dan kanal-kanal drainase, ke arah tindakan-tindakan alternatif yang lebih alamiah dan berkelanjutan seperti lahan banjir dan pencegah-pencegah alami. Kesemuanya dapat menjadi sangat efektif bila dipergunakan secara tepat. Tindakan-tindakan struktural, akan tetapi, dapat dilampaui oleh kejadian-kejadian yang berada di luar kapasitas disain. Kebanyakan tindakan-tindakan struktural dapat menimbulkan risiko banjir di tempat lain dengan mengurangi risiko banjir pada satu tempat. Pengalihan aliran air juga dapat berdampak pada lingkungan. Pada suatu peristiwa mungkin dapat diterima dan merupakan tindakan tepat, namun di tempat lain tidak. Dalam semua kasus pasti tetap terdapat sisa risiko  banjir. Solusi-solusi struktural juga dapat menimbulkan biaya dimuka, kadangkala mempercepat kepuasaan dengan kehadiran mereka, dan dapat menghasilkan kenaikan dampak  bila gagal atau diluar dugaan, seperti apa yang kita saksikan secara tragis dengan kejadian tsunami di Jepang pada tahun 2011. Pertimbangan-pertimbangan seperti tersebut, dan bahwa pada faktanya pasti terdapat sisa risiko banjir, mengarah pada perlunya memasukan tindakantindakan non-struktural pada strategi apapun. Sudah pasti terdapat peran untuk tindakan-tindakan non-struktural yang mengelola risiko melalaui peningkatan kapasitas manusia dalam menghadapi banjir disekitarnya. Tindakan-tindakan non-struktural seperi sistem peringatan dini dapat dianggap sebagai upaya melindungi manusia bila tidak adanya tindakan-tindakan struktural yang lebih mahal namun juga perlu mengelola sisa risiko setelah implementasi tindakan struktural. Tindakan-tindakan non-struktural bisanya tidak memerlukan investasi yang besar di muka, namun sering bergantung pada pemahaman baik tentang ancaman banjir dan sistem ramalan yang dapat diandalkan, seperi rencana evakuasi gawat darurat tidak akan berfungsi bila tidak ada peringatan di awal.
Metode Struktur :
1.      Perbaikan dan pengaturan sistem sungai
·         sistem jaringan sungai
·         normalisasi sungai
·         perlindungan tanggul
·         tanggul banjir
·         sudetan
·         flood way
2.      Bangunan pengendali banjir
·         bendungan (dam)
·         kolam retensi
·         pembuatan check dam (penangkap sedimen)
·         bangunan pengurang kemiringan sungai
·         ground sill
·         retarding basin
·         pembuatan polder
Metode Non Struktur
·         Pengelolaan DAS
·         Pengaturan tata guna lahan
·         pengendalian erosi
·         pengembangan daerah banjir
·         pengaturan daerah banjir
·         penanganan kondisi darurat
·         peramalan banjir
·         peringatan bahaya banjir
·         asuransi
·         penegakan hukum
·         manajemen sampah
·         pengentasan kemiskinan

            Tantangan yang dihadapi dengan banyaknya tindakan-tindakan non-struktural adalah perlunya untuk melibatkan dan mendapatkan persetujuan para pemangku kepentingan dan institusi mereka. Hal ini kadangkala termasuk memelihara sumber daya, membangun kesadaran dan kesiapan selama beberapa dekade tanpa ada kejadian banjir sama sekali, mengingat bahwa daya ingat tentang sebuah bencana mulai berkurang dengan berjalannya waktu. Tantangan ini semakin besar dengan kenyataan bahwa tindakan-tindakan non-struktural bertujuan untuk mengurangi kerusakan dan bukan mencegah, sehingga kebanyakan masyarakat secara naluri lebih memilih tindakan struktural.
            Sangat penting juga untuk mempertimbangkan masalah temporal dan ruang bila menentukan strategi. Pengelolaan risiko banjir perkotaan yang terintegrasi terjadi dalam skala luas, termasuk daerah aliran sungai dan tangkapan air sebagai satu kesatuan. Hal ini karena pada faktanya sumber banjir berada pada jarak tertentu dari kota. Seringkali pilihan terbaik adalah mengatasi banjir sebelum sampai di kawasan perkotaan.
            Tindakan-tindakan non-struktural seperti sistem peringatan banjir dan perencanaan evakuasi penting untuk menjaga warga kota yang memiliki risiko terkena banjir, walau sudah dilindungi oleh penghadang banjir atau tidak. Terdapat pula tindakan-tindakan berupa rancangan dan pengelolaan perkotaan yang dapat diimplementasi dengan lebih cepat, seperti operasional dan pemeliharaan infrastruktur; penghijauan di wilayah perkotaan; perbaikan drainase dan pengelolaan limbah/sampah; dan rancangan gedung yang lebih baik dan perlindungan yang tinggal pasang-bongkar. Hal ini memungkinkan wilayah-wilayah yang memiliki risiko banjir dapat ditinggali, sambil mengurangi dampak bila terjadi banjir. Perencanaan penggunaan lahan dan regulasi pengembangan merupaka aspek kunci dalam pengelolaan risiko banjir perkotaan. Di negara-negara berkembang pada khususnya, kesempatan melakukan perencanaan dalam membentuk wilayah perkotaan adalah inti untuk pencegahan terhadap dampak-dampak banjir yang semakin meningkat.
            Kebutuhan untuk mengintegrasikan pengelolaan risiko banjir ke dalam perencanaan dan pengelolaan lahan menjadi penting untuk meminimalisasi risiko dan mengelola dampak banjir. Di tempat tinggal perkotaan yang sedang tumbuh pada khususnya, risiko banjir dapat dilihat sebagai hal yang tidak terlalu penting dibanding masalah-masalah sosial dan ekonomi. Dengan demikian perkembangan dataran banjir akan berlanjut karena tekanan terhadap sumber daya lahan dan pertimbangan politik – ekonomi. Akan tetapi, di wilayah perkotaan baru yang lebih terencana untuk menghadapi risiko banjir, rancangan tahan banjir dapat lebih mudah diterapkan dengan biaya dan gangguan yang lebih rendah saat fase pembangunan dan rekonstruksi daripada usaha untuk melakukan penyesuaian. Hal ini memberi kesempatan untuk merancang bangunan yang lebih tangguh – yang tentu akan bernilai di masa mendatang. Potensi untuk mendapatkan tindakan-tindakan berbiaya lebih rendah dan manfaat berkepanjangan dari pengelolaan risiko banjir masih dapat dicari. Sebagai contoh, penggunaan yang sangat efektif dari lahan terbatas di daerah perkotaan yang padat penduduk adalah konstruksi cekungan penghadang multi fungsi yang dapat menyimpan air banjir untuk mengendalikan tumpahan air bila diperlukan. Di saat lain cekungan tersebut dipergunakan untuk kegiatan lain seperti fasilitas olahraga dan rekreasi atau bahkan parkiran. Memelihara air hujan juga merupakan cara inovatif untuk mencegah banjir. Dalam bentuk sistem drainase yang berkesinambungan dan dipergunakan sebagai air simpanan (bukan untuk diminum) atau konservasi. Investasi untuk pengelolaan kota yang lebih baik, seperti untuk limbah/sampah juga dapat mengurangi risiko banjir, yang memberi manfaat kesehatan dan lingkungan, dan dapat menciptakan lapangan kerja serta mengentaskan kemiskinan.
            Pengelolaan air tanah dapat mencegah penurunan tanah yang mengatasi wilayah dataran rendah yang rentan banjir, namun juga melindungi gedunggedung dan infrastruktur dari kegagalan meninggikan tanah yang turun, seperti yang telah dicoba di Bangkok. Lahan basah, pelindung-bio, zona perlindungan lingkungan dan tindakan-tindakan “penghijauan kota” yang menghasilkan manfaat lingkungan dan kesehatan di wilayah perkotaan juga dapat mengurangi dampak banjir. Tindakan-tindakan penghijauan ini akan memberikan manfaat lain selain menurunkan risiko banjir di wilayah sekitarnya, termasuk menurunkan dampak panas pulau perkotaan dan tingkat emisi CO2, sehingga menciptakan lingkungan kota yang lebih sehat. Sebagai contoh, wilayah penyangga disekitar Sungai Primero di kota Cordoba, Argentina memperbaiki lingkungan kota dan memindahkan penduduk yang berisiko ke lokasi yang lebih aman. Mengingat banyaknya tujuan pembangunan yang urgent dan terbatasnya sumber yang dihadapi oleh para pembuat keputusan, maka tidaklah mungkin untuk terlalu preskriptif dalam mengaplikasikan pengelolaan risiko banjir. Paket tindakan yang sesuai untuk suatu lokasi tertentu sebaiknya diadopsi setelah melalui pertimbangan yang sungguh-sungguh dan konsultasi dengan para pemangku kepentingan. Aksi untuk menciptakan pendekatan integratif akan melibatkan pengidentifikasian teknis tindakan-tindakan yang memungkinkan untuk mengurangi risiko banjir. Strategi-strategi pengelolaan risiko banjir perkotaan yang terintegrasi secara alamiah dirancang untuk dapat masuk dalam isu-isu perencanaan yang berkaitan dengan air dan dapat merupakan bagian dari agenda yang lebih luas seperti regenerasi kota atau adaptasi perubahan iklim. Aksi untuk mengurangi risiko banjir harusnya dijalankan melalui proses partisipatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan yang memiliki minat dalam pengelolaan banjir, termasuk masyarakat yang berisiko atau terkena pengaruh banjir. Tindakan-tindakan yang dipilih perlu untuk dinegosiasikan dengan para pemangku kepentinganm dan dapat beradaptasi dengan kondisi alam, sosial dan ekonomi yang dapat terjadi dalam kurun waktu tertentu.
Penanggulangan bencana banjir di Indonesia juga telah diantisipasi berdasarkan Kepres No. 43 Tahun 1990. Dalam kepres tersebut, sistem penanggulangan yang dilakukan berdasarkan manajemen modern yang mencakup kegiatan pencegahan, penjinakan, penyelamatan, rehabilitasi dan rekonstruksi. Pada prisipnya dirinci menjadi tiga tahapan yaitu: (a) sebelum terjadi bencana meliputi kegiatan pencegahan (Prevention), penjinakan (Mitigation), kesiap-siagaan (Preparedness), (b) selama bencana meliputi tahap darurat (Response), konsolidasi (Consolidation), dan rehabilitasi (Rehabilitation), (c) sesudah bencana, meliputi rekonstruksi (Reconstruksi), dan pembangunan (Development). Tindakan mitigasi dapat dipandang sebagai suatu upaya struktur dengan membangun infrastruktur pengendali banjir seperti telah disebutkan diatas. Sedangkan tindakan preventif merupakan tindakan bersifat non struktur yang lebih menekankan pada pengelolaan lingkungan DAS sebagai bagian integral dari perencanaan penanggulangan bencana banjir. Namun dalam pengaturan tersebut nampaknya modal dasar keikutsertaan masyarakat sama sekali tidak disinggung. Padahal secara fakta bahwa manusialah sebagai faktor penyebab utamanya.

V.                Penutup

Pengelolaan risiko banjir perkotaan demikian memerlukan koordinasi yang lebih besar antara pemerintah kota, pemerintah nasional, menteri-menteri terkait, perusahaan sektor publik, termasuk utilitas, dan institusi-institusi meteorologi dan perencanaan, masyarakat madani, organisasi-organisasi non-pemerintahan, institusi-institusi pendidikan dan pusat-pusat penelitian, serta sektor swasta. Pengelolaan risiko banjir perkotaan yang terintegrasi merupakan intervensi multi-disiplin dan multi sektoral yang jatuh pada tanggung jawab dari keragaman badan-badan pemerintah dan non-pemerintah. Dengan tekanan laju urbanisasi, tata kelola perkotaan dan pembuatan keputusan sering mengalami kekurangan untuk dapat memberi tanggapan yang diperlukan dalam menghadapi banjir. Dengan demikian sangat penting untuk mengkaitkan risiko banjir dengan inisiatifinisiatif yang berhubungan dengan penurunan kemisikan dan adaptasi terhadap perubahan iklim, dan dengan isu-isu spesifik perencanaan dan pengelolaan perkotaan, seperti pengaturan perumahan, pemilikan tanah, pembangunan infrastruktur kota dan penyediaan layanan dasar. Menurut Abhas K. Jha dalam tulisannya yang berjudul  Kota dan banjir terdapat Dua belas prinsip-prinsip utama untuk pengelolaan risiko banjir perkotaan yaitu :
1.      Setiap skenario risiko banjir berbeda: tidak ada cetak biru pengelolaan banjir
Memahami jenis, sumber, dan probabilitas banjir, aset-aset yang terekspose dan kerentanan yang dihadapi kesemuanya merupakan hal yang penting bilaingin mengidentifikasi tindakan-tindakan pengelolaan risiko banjir secara tepat.Ketepatan tindakan terhadap konteks dan kondisi yang dihadapi sangat penting:penghadang banjir di tempat yang salah dapat memperburuk banjir karenajatuhnya air hujan akan terhalang untuk masuk ke sungai dengan mendorong airke tempat-tempat yang rentan di hilir, dan sistem peringatan dini dapat memilikidampak terbatas pada upaya mengurangi risiko dari banjir badang.
2.      Rancangan untuk pengelolaan banjir harus dapat menyesuaikan dengan perubahan dan ketidakpastian di masa depan.
Dampak urbanisasi terhadap pengelolaan banjir saat ini dan seterusnya akan signifikan. Namun tentu saja tidak dapat secara keseluruhan diprediksi. Disamping itu, pada masa kini dan jangka panjang, model-model banjir dan prediksi iklim bahkan dapat menghasilkan ketidakpastian yang cukup besar. Hal ini karena iklim mendatang sangat tergantung pada tindakan-tindakan manusia yang tidak dapat diprediksi terhdap iklim dan karena iklim berada pada skenario-skenario yang sebelumnya tidak terlihat. Para pengelola risiko banjir dengan demikian perlu untuk mempertimbangkan tindakan-tindakan yang tangguh terhadap ketidakpastian dan terhadap berbagai skenario banjir yang berbeda dalam kondisi perubahan iklim.
3.      Urbanisasi yang berjalan cepat membutuhkan pengelolaan risiko banjir secara terintegrasi dengan rancangan kota rutin dan tata laksana.
Perencanaan dan pengelolaan perkotaan yang mengintergrasikan pengelolaan risiko banjir merupakan ketentuan kunci, yang juga memasukan unsur penggunaan lahan, lokasi perlindungan, infratruktur dan jasa. Perluasan yang cepat dari pembangunan kota juga memberikan kesempatan untuk mengembangkan tempat tinggal-tempat tinggal baru yang memasukan pengelolaan risiko banjir yang terintegrasi pada saat awal. Kegiatan operasional dan perawatan yang cukup untuk mengelola aset-aset manajemen banjir juga merupakan isu manajemen
perkotaan.
4.      Strategi terintegrasi membutuhkan penggunaan tindakantindakan struktural dan non-struktural dan cara pengukuran yang tepat untuk medapatkan hasil yang seimbang secara tepat.
Dua jenis tindakan yang ada jangan dianggap dua hal yang berbeda satu sama lain. Namun merupakan tindakan yang saling melengkapi. Setiap tindakan memberikan kontribusi terhadap penurunan risiko banjr, akan tetapi strategi paling efektif biasanya adalah mengkombinasikan beberapa tindakan – yang mungkin merupakan kedua jenis tersebut. Sangat penting untuk dapat mengidentifikasi berbagai cara mengurangi risko agar dapat memilih mana yang terbaik untuk dapat mencapai sasaran saat ini – dan mendatang.

5.      Tindakan-tindakan struktural dengan rekayasa tinggi dapat menyebabkan transfer risiko di hilir dan hulu.
Tindakan-tindakan struktural berekayasa tinggi dapat efektif bila digunakan secara tepat. Namun demikian harus dilihat karakteristiknya apakah pada saat mengatasi risiko banjir di satu lokasi akan meningkatkan risiko di tempat lain. Para pengelola banjir perkotaan harus mempertimbangkan apakah tindakan-tindakan yang diambil telah mewakili kawasan tangkapan air yang lebih luas.
6.      Kemungkinan untuk meniadakan risiko banjir secara keseluruhan adalah mustahil.
Tindakan-tindakan yang bersifat rekayasa keras bertujuan untuk menghadapi tingkat risiko yang dapat diperkirakan. Namun, bisa juga gagal. Sedangkan tindakan-tindakan non-struktural lain biasanya dirancang untuk meminimalisasi risiko daripada mencegah. Akan selalu ada risiko yang tersisa dan perlu diantisipasi. Tindakan-tindakan juga dirancang gagal harus secara luwes, jika benar-benar gagal menimbulkan kerusakan yang lebih parah bila mana tidak ada tindakan-tindakan tersebut.
7.      Banyak tindakan pengelolaan banjir memiliki keuntungan berganda di atas peran mereka mengelola banjir.
Keterkaitan antara pengelolaan banjir, rancangan kota, perencanaan dan pengelolaan, dan inisiatf-inisiatif perubahan iklim akan bermanfaat. Sebagai contoh, penghijauan di ruang-ruang kota memiliki nilai keindahan, mendukung bio-diversitas, melindungi terhadap panas perkotaan dan dapat menjadi penghalang api, penyedia makanan kota dan merupakan lokasi evakuasi. Perbaikan dalam pengelolaan limbah memberikan manfaat kesehatan dan sekaligus memelihara kapasitas sistem drainase dan mengurangi risiko banjir.
8.      Sangat penting untuk mempertimbangkan konsekuensi sosial dan ekologis secara lebih luas dalam pembiayaan pengelolaan banjir.
Walau biaya dan manfaat dapat didefeiniskan dalam terminologi ekonomi, jarang sekali keputusan-keputusan diambil berdasarkan pada nilai-nilai ekonomi saja. Konsekuensi-konsekuensi sosial dan ekologis, seperti hilangnya kohesifitas masyarakat dan bio-diversitas, tidal terlalu mudah untuk diukur dalam terminologi ekonomi. Dugaan-dugaan kualitatif seharusnya dibuat oleh pengelola-pengelola kota, masyarakat yang berisiko, perencana tata-kota, dan para profesional pengelola risiko banjir pada topik yang lebih luas lagi.
9.      Kejelasan mengenai siapa yang bertanggung jawab untuk konstruksi dan pengelolaan program-program risiko banjir sangat perlu.
Pengelolaan risiko bajir perkotaan secara terintegrasi sering berada dan jatuh pada dinamika dan perbedaan insentif dalam mengambil keputusan di tingkat nasional, resgional, perkotaan dan masyarakat. Pemberdayaan dan kebersamaan terhadap masalah banjir oleh badan-badan dan individu-individu yang relevan dapat menghasilkan tindakan yang positf untuk mengurangi risiko .
10.  Implementasi tindakan-tindakan pengelolaan risiko bajir memerlukan kerjasama dari para pemangku kepentingan
Hubungan yang erat dengan masyarakat yang berisiko pada setiap tahap merupakan faktor kunci keberhasilan. Kedekatan hubungan meningkatkan penerapan standar, menghasilkan peningkatan kapasitas dan menurunkan konflik. Hal ini perlu dikombinasikan dengan kepemimpinan yang kuat dan berani membuat keputusan, serta komitmen dari pemerintahan nasional dan lokal.
11.  Perlu adanya komunikasi yang berlangung secara terus menerus untuk meningkatkan kesadaran dan memperkuat kesiapan.
Komunikasi yang berlangsung secara terus menerus dapat menghindarkan kemungkinan manusia lupa tentang risiko banjir. Bahkan sebuah bencana besar mudah dilupakan oleh generasi kedua atau sebagain generasi pertama, sedangkan ancaman yang menghadang dianggap lebih mendesak. Kejadian yang memiliki dampak lebih kecil dapat dilupakan dalam kurun tiga tahun.
12.  Rencanakan pemulihan secara cepat setelah terjadi banjir dan gunakan proses pemulihan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat.

Dengan kejadian-kejadian banjir yang akan terus membuat masyarakat menderita walau praktik-praktik pengelolaan risiko banjir tetap berlangsung, maka sangat penting untuk merencanakan pemulihan yang cepat. Hal ini termasuk tersedianya perencanaan sumber daya dan sumber pendanaan. Rencana pemulian terbaik adalah menggunakan kesempatan rekonstruksi untuk membangun dengan lebih aman dan komunitas yang lebih kuat agar dapat memiliki kapasitas dalam menghadapi banjir dengan lebih baik di masa mendatang.

Comments

Popular posts from this blog

Hutan Pantai , Ekologi, dan Fungsinya

Efek Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Peningkatan Suhu dan Albedo Di Jakarta Selatan

Teknologi GPS Dan Fishfinder Untuk Nelayan Modern