Geografi adalah ilmu yang terbuka

Geografi adalah ilmu yang terbuka dalam perspektif filsafat        
            Dalam menjawab soal mengenai Geografi adalah ilmu yang terbuka dalam perspektif filsafat saya akan sedikit bercerita mengenai Eisntein sebagai cerita pembuka. Einstein yang merupakan seorang jenius di bidang fisika pernah menyatakan bahwa dia pernah bercita-cita untuk menjadi seorang geograf, namun setelah dia berpikir secara lebih mendalam mengenai cita-citanya itu dia memutuskan bahwa menjadi seorang geograf terlalu sulit bagi dirinya.  Dia berpikir bahwa ilmu Geografi adalah ilmu yang sulit untuk dipelajari dan akhirnya dia lebih memilih ilmu yang lebih spesifik yaitu fisika untuk dipelajari. Bahkan seorang Einstein saja mengatakan Geografi itu sulit, saya berpendapat mengapa Einstein memiliki pendapat seperti itu karena Geografi itu adalah ilmu yang terbuka dan merupakan induk dari segala ilmu. Di dalam 'the tree of science' digambarkan bahwa ilmu Geografi berada di puncak pohon, Geografi menjadi batang dari pohon tersebut dan ilmu-ilmu lain menjadi rantingnya. Dari gambar 'the tree of science' itu saya berpendapat bahwa untuk menjadi seorang geograf yang handal dia harus menguasai banyak ilmu, hal ini berkebalikan dengan kondisi sekarang dimana seseorang dikatakan handal dalam suatu bidang keilmuan apabila dia menguasai ilmu secara spesifik dan menjadi spesialis di dalam ilmu tersebut.
            Berbicara mengenai filsafat ilmu berarti akan membeicarakan hakikat kebenaran karena filsafat adalah induk dari segala ilmu pengetahuan. Istilah Geografi sendiri pertama kali dirumuskan oleh Erastothenes seorang Geografika, Erastothenes mendefinisikan Geografi sebagai lukisan atau gambaran tentang bumi. Ilmu Geografi bukan sekadar pengetahuan yang membahas tentang fisik alam tetapi juga membahas tentang kehidupan sosial manusia yang berlangsung di alam tersebut serta membaginya lagi dalam materi-materi yang lebih teperinci agar kita lebih mengetahui apa saja yang ada di linkungan alam dan sosial manusia tersebut dan dalam perkembanganya banyak sekali pendapat-pendapat yang di kemukakan oleh beberapa ahli mengenai Geografi yang akan bermanfat bagi kehidupan manusia. Dalam buku  “GeographyA Global Synthesis” Hagget menyebutkan batasan tentang definisi Geografi, dalam definisi tersebut memberi pengertian bahwa Geografi merupakan disiplin ilmu bersifat integratif yang mempelajari obyek studi (penduduk, tempat dan lingkungannya) dalam dimensi fisik dan manusia. Sementara I Made Sandy (1973) memberikan sebuah definisi Geografi sebagai bidang ilmu yang mempelajari berbagai gejala di permukaan bumi dalam perspektif keruangan. I Made Sandy ingin menekankan bahwa gejala apapun dapat menjadi bidang telaah Geografi jika ditinjau dari sudut pandang keruangan. Sementara secara akademis di Indonesia pengertian Geografi dirumuskan pada seminar lokakarya di semarang pada tahun 1988, dalam lokakarya tersebut disebutkan bahwa Geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan geosfera dengan sudut pandang kelingkungan dan kewilayahan dalam konteks keruangan. Berdasarkan tiga definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Geografi pada hakekatnya adalah sebuah bidang ilmiah yang bersifat sintesis, sebuah ilmu yang merupakan integrasi dari berbagai ilmu lain, bidang ilmu yang bersifat integratif yang mempelajari gejala alam yang berlangsung dipermukaan bumi baik dalam dimensi fisik maupun dimensi manusianya dengan menggunakan sudut pandang keruangan yang diaplikasikan dalam pemetaan wilayah maupun pemetaan penduduk.
            Dari paragraf di atas dapat  disimpulkan bahwa yang menjadi pembeda ilmu Geografi dengan ilmu lain adalah aspek keruangannya. Geografi sebagai ilmu yang sifatnya terbuka dapat dianalogikan sebagai bumbu penyebab yang dapat membuat suatu masakan menjadi lebih enak, dalam konteks ini bumbu penyedap yang dimaksud adalah aspek spasial dan keruangan. Geografi sebagai ilmu yang terbuka memiliki tugas untuk memberikan makna spasial dan keruangan bagi ilmu lainnya. Bahkan sebagai contoh yang ekstrem ada istilah "Geography is what geographer do!" , istilah tersebut muncul karena terlalu sulit untuk mendeskripsikan ilmu Geografi yang sangat luas dan terbuka sehingga untuk mempermudahnya maka munculah pengertian bahwa apa yang dilakukan oleh seorang geograf itulah Geografi.
            Sebagai penutup saya akan kembali lagi kembali ke paragraf pertama mengenai seorang geograf dapat dikatakan handal apabila dia menguasai ilmu Geografi secara umum atau generalis bukan secara spesifik. Dalam perspektif keilmuan, pada dasarnya semua ilmu memiliki kesamaan filosofi yang disebut dengan metode keilmuan, masing-masing ilmu memiliki cara yang sama untuk mencari pengetahuan. Interkoneksi berbagai bidang ilmu dengan bidang Geografi menunjukkan fenomena di mana perkembangan bidang ilmu Geografi dapat dikatakan sangat ditentukan oleh kemampuan geograf dalam memperoleh informasi tentang perkembangan bidang ilmu lainnya. Pengetahuan mengenai bidang ilmu lain akan memperkaya seorang geograf. Demikian pula, apabila seorang geograf mendalami ilmu Geografi tentang topik tertentu secara terbatas dapat memicu perkembangan bidang ilmu lainnya. Dalam konteks ini maka akan menimbulkan terbentuknya gejala divergensi atau pemecahan bidang ilmu Geografi dalam berbagai cabang ilmu yang bersifat lebih spesifik atau spesialisasi. Namun demikian, spesialisasi di bidang ilmu Geografi tidaklah semudah seperti membentuk spesialisasi pada bidang lainnya karena ilmu Geografi merupakan ilmu yang sangat istimewa, karena sifatnya yang interdisiplin dimana beberapa kajian ilmu yang berbeda-beda dipelajari sehingga membentuk satu kesatuan ilmu yang solid.

Perlunya  pergeseran paradigma dalam ilmu Geografi
            Friedrichs (dalam Ritzer, 2003:6) mengungkapkan bahwa paradigma sebagai suatu pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) yang semestinya dipelajari. Lebih lanjut Ritzer (2003:7) mengungkapkan bahwa paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan - persoalan yang harus dijawab, bagaimana harus menjawabnya, serta aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang harus dikumpulkan informasi yang dikumpulkan dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut.
            Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan, dalam suatu cabang ilmu pengetahuan dimungkinkan terdapat beberapa paradigma. Artinya dimungkinkan terdapatnya beberapa komunitas ilmuwan yang masing-masing berbeda titik pandangnya tentang apa yang menurutnya menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari dan diteliti oleh cabang ilmu pengetahuan tersebut. Dengan kata yang lebih sederhana dapat diartikan bahwa paradigma adalah pola pikir, cara pandang para ilmuan mengenai suatu disiplin ilmu serta apa saja yang mesti dipersoalkan, dipelajari, dan dipahami tentang ilmu tersebut.
            Ilmu Geografi sendiri seperti ilmu lainnya memiliki sejarahnya sendiri mengenai perubahan paradigma. Paradigma keilmuan Geografi pada saat ini tidak terbentuk secara instan, namun melalui proses yang lama. Hagget (1983) mengemukakan 3 fragmen penting yang menandai perkembangan paradigma Geografi. Fragmen pertama muncul dari hasil penelitian-penelitian mandiri yang dilakukan oleh individu yang menekankan pada masalah-masalah kebumian praktis, fragmen kedua muncul dari penelitian-penelitian yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ilmuwan yang muncul pada pertengahan abad 20 sejalan dengan munculnya revolusi kuantitatif dan masyarakat serta fragmen ketiga muncul dari penelitian-penelitian yang dilaksanakan oleh organisasi kemasyarakatan yang lebih luas skalanya baik di tingkat nasioanal maupun internasional. perkembangan penelitian-penelitian itu kemudian berkembang dan menghasilkan kategorisasi paradigma Geografi menjadi paradigma tradisonal dan paradigma kontemporer (Herbert dan Thomas, 1982)
            Dalam kaitannya dengan pertanyaan sebelumnya dalam konteks Geografi sebagai ilmu yang terbuka, muncul pendapat bahwa Geografi adalah induk dari segala ilmu atau ilmu yang bersifat generalis. Pendapat ini memunculkan pemikiran bahwa segala sesuatunya dapat di-Geografi-kan sepanjang masih dapat dianalisis secara spasial. Pemikiran ini membuat munculnya pemikiran baru yaitu pemikiran mengenai spesialisasi Geografi. Sifat Geografi yang interdisiplin sebenarnya memberikan keuntungan bagi orang yang mempelajarinya karena memberikan banyak peluang bagi para geograf untuk mendapatkan pekerjaan , lain halnya dengan bidang keilmuan lain yang bersifat monodisiplin dan spesifik sehingga untuk memasuki pekerjaan tertentu harus sesuai dengan bidang atau ilmu yang secara khusus dipelajarinya. Selain menjadi keuntungan, sifat interdisiplin ini juga dapat menjadi kelemahan utama bagi geograf apabila tidak dapat mengatasinya, karena sifat yang interdisiplin ini dapat menjerumuskan geograf menjadi merasa menguasai semua, atau bahkan kebalikannya merasa tidak menguasai semua. Sifat ilmu Geografi yang terbuka juga menimbulkan persepsi pada masyarakat bahwa ilmu Geografi kurang berperan dalam pembangunan, Geografi dinaggap hanya ilmu yang hanya menghapal secara deskriptif, kualitatif, statis dan bukan ilmu yang bersifat analitis dinamis. Akibat nyata dari pemikiran masyarakat yang salah ini adalah tidak banyak lembaga pemerintah maupun perusahaan swasta yang mengumumkan kebutuhannya terhadap tenaga seorang geograf. Hal ini tentu sangat disayangkan mengingat Indonesia sebagai bangsa yang kaya akan variasi sumber daya alam, memiliki wilayah yang begitu bervariasi sangat membutuhkan ahli-ahli yang mampu memberikan smbangsih ilmunya dalam merumuskan tata ruang dan wilayah yang mampu membuat bangsa Indonesia ini menjadi maju pembangunannya.
            Sebagai akibat dari pemikiran mengenai ilmu Geografi sebagai ilmu yang generalis pada di paragraf di atas maka muncullah pemikiran untuk membuat spesialisasi ilmu Geografi. Hal ini terjadi pada pertengahan abad 20 dimana muncul banyak penelitian kuantitatif Geografi, sehingga seolah-olah setiap penelitian Geografi yang tidak menggunakan analisis kuantitatif menjadi dianggap tidak ilmiah. Boulding (1968) dalam artikelnya yang berjudul "The General System Theory The Skeleton of Science" mengemukakan bahwa spesialisasi yang berlebihan akan mengakibatkan sulitnya komunikasi ilmiah antar sub disiplin itu sendiri, sehingga akan kehilangan kesatuan makna ilmiah yang utuh.  Pada akhir artikelnya dikemukanan bahwa hasil yang terjadi akan berujung kepada ketulian spesialisai, karena masing-masing spesialisasi hanya memikirkan bidang kajiannya sendiri-sendiri dan tidak mau mendengarkan spesialisasi yang lain walaupun berada dalam batang ilmu yang sama. Caffey (1981) juga memiliki pendapat yang sama, ia berpendapat semakin mendalamnya spesialisasi akan makin menjauhkan keterkaitan keilmuan antara satu bidang spesialisasi dengan yang lain, sehingga warna Geografinya sendiri menjadi semakin tidak terlihat. Apabila hal ini tidak disadari segera maka lambat laun ilmu Geografi akan kehilangan jatidirinya dan orientasi keilmuannya. Brian Goddal (1987) mengemukakan bahwa kajian apapun  mengenai geografi dan apapun spesialisai keilmuan yang dilakukan, kajian geografi harus mengacu pada tiga tema studi utama geografi yaitu (1) penekanan pada pendekatan keruangan dengan mengangkat ruang sebagai variabel, (2) penekanan pada inter-relasi antara hubungan manusia dengan lingkungannya, (3) dan penekanan pada sintesis antara pendekatan spasial dan pendekatan ekologikal.

            Sebagai penutup dapat disimpulkan bahwa paradigma untuk menerapkan spesialisasi pada ilmu Geografi perlu diuji lebih lanjut karena terbentuknya spesialisasi ilmu memiliki konsekuensi akan munculnya ranting keilmuan baru pada bidang ilmu Geografi yang diluar dari batang pohon keilmuan Geografi itu sendiri. Namun demikian bukan berarti ilmu Geografi menutup diri terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dari keterkaitan dengan ilmu lain, namun setiap kajian keilmuan harus mengandung tiga pendekatan utama yaitu keruangan, lingkungan ekologi, dan inter-relasi hubungan antara manusia dan lingkungannya yang merupakan inti dari ilmu Geografi agar ilmu Geografi tidak kehilangan warna dan jati dirinya.

Comments

Popular posts from this blog

Hutan Pantai , Ekologi, dan Fungsinya

Efek Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Peningkatan Suhu dan Albedo Di Jakarta Selatan

Teknologi GPS Dan Fishfinder Untuk Nelayan Modern