Efek Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Peningkatan Suhu dan Albedo Di Jakarta Selatan

Efek Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Peningkatan Suhu dan Albedo Di Jakarta Selatan


1.      Pendahuluan
Tingginya suhu di daerah perkotaan menjadi kendala di daerah lintang rendah, termasuk Indonesia, karena meningkatkan beban untuk pendinginan (di bangunan/ruangan), ketidaknyamanan termal, dan polusi udara (Taha, 1997). Faktor yang berpengaruh terhadap perbedaan suhu tersebut terdiri dari faktor yang bisa dikendalikan oleh manusia, meliputi disain dan struktur kota (bahan bangunan, ruang terbuka hijau, dan sky view factor), jumlah populasi (menentukan panas antropogenik), dan faktor yang tidak bisa dikendalikan oleh manusia berupa musim, tutupan awan, dan dinamika atmosfir (Rizwan, dkk., 2008). Aktivitas manusia yang menjadi sumber emisi bahan pencemar penentu peningkatan suhu kota adalah transportasi, industri, sampah, konsumsi energi domestik (Rushayati, 2012). Secara garis  besar sumber-sumber tersebut dibagi menjadi aktivitas rumah tangga, lalulintas, dan industri. Selain menghasilkan bahan pencemar, aktifitas manusia juga menghasilkan panas yang memberi efek pada peningkatan suhu, yaitu panas antropogenik. Panas dari aktivitas manusia lebih banyak terjadi di perkotaan karena umumnya memiliki pemukiman, sarana transportasi, dan kawasan industri yang lebih padat daripada di daerah pedesaan. Manusia juga menentukan disain dan struktur kota. Semakin banyak jumlah penduduk di suatu wilayah maka kebutuhan pemukiman dan sarana prasarana pendukung seperti kendaraan, sekolah, pusat perbelanjaan juga akan semakin besar. Keadaan geometri perkotaan lebih kompleks jika dibandingkan daerah sekitarnya. Gedung-gedung tinggi di daerah perkotaan menghalangi radiasi panas ke atmosfir. Panas yang tertahan dipancarkan kembali diantara bangunan menjadi simpanan panas dan berpotensi meningkatkan suhu di daerah perkotaan (Tursilawati, 2007). Konstruksi bangunan dan permukaan lahan dengan material penyerap panas (aspal, semen, paving, dll), bangunan pencakar langit, struktur bangunan yang menjadi perangkap panas, serta kegiatan yang melepas panas yang tinggi adalah karakteristik perkotaan yang menyebabkan pulau bahang kota (Giridharan, dkk, 2005). Vegetasi memiliki nilai albedo tersendiri dan melakukan evapotranspirasi. Pada area bervegetasi, radiasi surya yang sampai ke permukaan selain dikonduksikan juga dipergunakan untuk evapotranspirasi sehingga menurunkan suhu permukaan (Rushayati, 2012). Tutupan vegetasi (vegetation cover) dan suhu memiliki korelasi negatif (Zhang, dkk, 2010).
Jakarta Selatan terdiri dari 10 kecamatan dengan jumlah penduduk 1.893.705 jiwa. Jumlah penduduk terpadat berada di Kecamatan Tebet dan yang terjarang adalah Kecamatan Cilandak. Jakarta Selatan merupakan daerah pemukiman. Masih banyak ditemukan perkampungan alami yang teridiri dari mayoritas komunitas budaya asli Betawi. Dengan kondisi lingkungan yang hijau, teduh dan tenang, menjadikan wilayah ini sebagai pilihan golongan ekonomi atas dan warga asing untuk bermukim. Hal ini terlihat dari munculnya pemukiman golongan ini di berbagai bagian wilayah Jakarta Selatan, seperti Setiabudi, Pondok Indah, Permata Hijau, Kebayoran Baru, dan Kemang.
Fenomena di atas telah mendorong tumbuh pesatnya sektor ekonomi. Berbagai pusat perbelanjaan berkembang dengan pesat, seperti International Trade Centre (ITC) Fatmawati, Gandaria City, Kawasan Kemang, Poins Square dan Carefour di kawasan Lebak Bulus, dan lainnya. Munculnya pusat perbelanjaan ini semakin melengkapi pusat perbelanjaan sebelumnya, yaitu kawasan Blok M menjadi icon belanja warga dan seluruh warga Jakarta, bahkan luar kota.


Tabel 1. Jumlah penduduk di Kota Jakarta Selatan 2010 (sumber:BPS)
Pertambahan jumlah ini berdampak negatif pada penggunaan lahan yang berada di Kota Jakarta Selatan. Realitas yang terjadi saat ini di Kota Jakarta Selatan banyak bangunan baru di area kawasan Ruang Terbuka Hijau. Kawasan yang semestinya merupakan kawasan terbuka hijau pada saat ini telah dikonversi menjadi lahan terbangun. Berkaitan dengan berkurangnya RTH yang berada di Kota Jakarta Selatan akan berdampak pada kenaikan suhu di Kota Jakarta Selatan. Keterkaitan antara RTH dengan kenaikan yaitu pada RTH akan tersedia banyak tumbuhan yang dapat menyerap karbondioksida (CO2) (Anshori, 2008:14). Dengan memiliki Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang luas maka akan sangat berpengaruh positif terhadap kesejukan bagi suatu tempat.
2.      Metode Penelitian
Pada tulisan ini menggunakan metode penginderaan jauh untuk mengetahui suhu permukaan, nilai albedo dan penggunaan lahan di kota Jakarta selatan. Citra yang digunakan adalah citra Landsat 7 tahun dengan tanggal perekaman 27 Agustus 1999 dan citra Landsat 8 dengan tanggal perekaman 12 Oktober 2013 . Dari hasil pengolahan akan dibandingkan nilai daru suhu permukaan, albedo dengan penggunaan lahan pada rentang waktu tahun 1999 – 2013.

3.      Hasil dan Pembahasan

3.1  Suhu
Nilai suhu diidentifikasi dari olah data citra. Citra yang diolah adalah citra yang diambil tanggal 12 Oktober 2013 dengan pertimbangan kenampakan citra yang bersih dari tutupan awan. Berdasarkan hasil interpetasi citra, dapat diketahui pusat panas di Kota Jakarta Selatan pada tahun 2013 dengan suhu pada rentang 270C -370C berada di Kecamatan Kebayoran Baru, Mampang Prapatan, Kebayoran Lama, Tebet. Sedangkan untuk rentang suhu 150C - 270C berada di Kecamatan Jagakarsa, Cilandak dan sebagian Pasar Minggu. Untuk citra yang diambil pada tanggal 27 Agustus 1999 suhu pada rentang 270C -330C berada di Kecamatan Setiabudi , Tebet , Mampang Prapatan, Kebayoran Baru, Kebayoran Lama. Sedangkan untuk rentang suhu 150C - 270C berada di sebagian Kecamatan Pasar Minggu, Jagakarsa, Pesanggrahan, dan Cilandak.


(a)                                                                                         (b)
Gambar 1. Peta suhu permukaan Jakarta Selatan tahun 2013 (a) dan 1999 (b)(sumber : pengolahan citra)
Dari data statistik dapat dilihat bahwa suhu permukaan maksimum di daerah Jakarta Selatan pada tahun 1999 adalah 32.580C sedangkan untuk suhu permukaan maksimum di daerah Jakarta selatan pada tahun 2013 adalah 36.050C, sehingga dapat diketahui ada peningkatan suhu permukaan sebesar 3.47 0C.
3.2  Tutupan Lahan
Penutup lahan Kota Jakarta Selatan tahun 1999 dan tahun 2013 ditampilkan pada gambar 2 . Dari peta tersebut terlihat bahwa sebagian besar wilayah Kota Jakarta Selatan merupakan wilayah terbangun sedangkan daerah sekitarnya terdapat vegetasi dan lahan terbuka.



(a)                                                                                          (b)
Gambar 2. Peta Land Use Jakarta Selatan tahun 2013 (b) dan 1999 (a)(sumber : pengolahan citra)
Dari peta land use Jakarta Selatan tahun 1999 dan 2013 dapat terlihat peningkatan luas area terbangun seluas 9630243.551 m2 yaitu dari luas 114607175.1 m2 pada tahun 1999 menjadi 124237418.7 m2 pada tahun 2013.

Tabel.2 Luas wilayah terbangun Jakarta Selatan tahun 1999 dan 2013 (seumber : pengolahan data)


3.3 Albedo
Nilai albedo menyatakan persentase dari radiasi matahari yang dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi gelombang pendek. Semakin tinggi nilai albedo maka kisaran panjang gelombang (karakteristik spectral( yang dipantulkan suatu jenis tutupan lahan juga semakin besar. Karakteristik spectral akan mempengaruhi tingkat kecerahan suatu jenis tutupan lahan pada citra. Citra albedo yang dihasilkan pada gambar 3 dibagi menjadi 5 kelas (dapat dilihat pada tabel 3).

(a)                                                                               (b)
Gambar 3. Peta albedo Jakarta Selatan tahun 2013 (b) dan 1999 (a)(sumber : pengolahan citra)
Nilai albedo tertinggi terdapat pada tutupan awan karena awan berwarna cerah. Tutupan lahan terbangun juga memiliki nilai albedo yang tinggi terutama untuk gedung yang berawarna terang. Nilai albedo terendah dimiliki oleh air. Pada umumnya permukaan berwarna terang atau kering lebih banyak memantulkan radiasi daripada permukaan berwarna gelap dan basah.




TUTUPAN LAHAN
ALBEDO
27 Agustus 1999
12 Oktober 2013
Vegetasi
0.07-0.10
0.05-0.1
Lahan terbuka
0.12-0.13
0.12-0.13
air
0.11-0.12
0.1-0.12
Area terbangun
0.13-0.17
0.13-0.2
Awan
0.17-0.30
0.2-0.6
Tabel 3. Nilai albedo hasil pengolahan citra Landsat
Dari hasil statistic juga dapat terlihat bahwa terjadi peningkatan nilai albedo. Untuk suatu titik yang sama pada citra tahun 2013 dan 1999 terdapat perbedaan nilai albedo sebagai contoh pada gambar 4 nilai albedo pada citra tahun 2013 adalah 0.131117 sedangkan nilai albedo pada citra tahun 1999 adalah 0.117116 atau lebih kecil 0.014001 dari nilai albedo pada citra tahun 2013. Nilai maksimal albedo pada tahun 2013 0.646767 adalah sedangkan nilai albedo tertinggi pada tahun 1999 adalah 0.302758, atau meningkat sebesar 0.344009.

Gambar 6. Perbedaan nilai albedo pada citra landsat tahun 2013 dan 1999 (sumber:pengolahan citra)



4.      Kesimpulan
·         Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan metode pengolahan citra diketahui bahwa peningkatan luas lahan terbangun dari tahun 1999-2013 adalah 9630243.551 m2.
·         Dari hasil pengolahan citra didapatkan peningkatan nilai maksimal suhu permukaan dari tahun 1999-2013 sebesar 3.47 0C.
·         Nilai albedo dari tahun 1999-2013 juga mengalami peningkatan, dapat dilihat dari nilai albedo maksimal yang mengalami peningkatan sebesar 0.344009 . Kaitan antara albedo dengan peningkatan suhu perkotaan perlu diteliti lebih lanjut. Nilai albedo bervariasi secara spasial bergantung karakteristik fisik masing-masing tutupa  lahan.
·         Faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan suhu perkotaan adalah disain dan struktur kota serta jumlah penduduk dibandingkan daerah sekitarnya. Penduduk selain menghasilkan panas secara langsung melalui aktifitas rumah tangga, lalulintas, maupun industri, juga menentukan struktur kota. Semakin besar jumlah penduduk semakin besar kebutuhan terhadap pemukiman dan penunjangnya (sarana jalan, pusat perbelanjaan, sekolah, dll) yang berarti semakin sedikit lahan terbuka maupun vegetasi.



Daftar Pustaka

Arctic Sea Blog. Decreasing Arctic albedo boosts global warming. http://neven1.typepad.com/blog/2014/02/decreasing-arctic-albedo-boosts-global-warming.html
Ahrens, C. D. 2006. Meteorology Today. An Introduction to Weather, Climate, and the Environment. Eighth Edition. Thompson, Brooks/Cole. USA. 
Earth System Science Education Alliance. Global Climate Change: Albedo. http://essea.strategies.org/module.php?module_id=99
Goode, P. R., J. Qiu, V. Yurchyshyn, J. Hickey, M.?C. Chu, E. Kolbe, C. T. Brown, and S. E. Koonin. 2001. Earthshine Observations of the Earth’s Reflectance. Geophysical Research Letters 28 (9): 1671–1674.
Gurneym R. J., Foster, J. L., and Parkinson, C. L. 1993. Atlas of Satellite Observations Related to Global Change. Cambridge University Press. Great Britain. 470 pp.
Oke, T.R. 1992. Boundary Layer Climates. Second Edition. Routledge. New York.
Schiffer, R.A., and Rossow, W.B. 1983. The International Satellite Cloud Climatology Project (ISCCP): The First Project of the World Climate Research Programme. Bulletin of the American Meteorological Society, 64:779-784.
Skeptical Science. The albedo effect and global warming. http://www.skepticalscience.com/earth-albedo-effect.htm
Windows to universe. Global Warming, Clouds, and Albedo: Feedback Loops. http://www.windows2universe.org/earth/climate/warming_clouds_albedo_feedback.html


Comments

Popular posts from this blog

Hutan Pantai , Ekologi, dan Fungsinya

Teknologi GPS Dan Fishfinder Untuk Nelayan Modern