Hutan Pantai , Ekologi, dan Fungsinya
Hutan
Pantai , Ekologi, dan Fungsinya
I.
Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu
negara dengan garis pantai terluas di Asia Tenggara 81.000 km(Wong,2005). Di
sepanjang pantai tersebut ditumbuhi oleh berbagai vegetasi pantai. Hutan pantai yang dimaksud disini tidak
termasuk hutan mangrove. Di Indonesia, formasi hutan ini mempunyai keunikan
tersendiri. Hutan pantai juga merupakan bagian dari ekosistem pesisir dan laut
yang menyediakan sumberdaya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan,
tambang mineral maupun energi, media komunikasi dan edukasi maupun kawasan
rekreasi atau pariwisata. Di dalam tulisan ini akan dibahas mengenai pengertian
hutan pantai, ekologi hutan pantai di Indonesia, dan fungsi dari hutan pantai
sehingga kita dapat memahami pentingnya hutan pantai di Indonesia.
II.
Pengertian Hutan Pantai
Hutan pantai,
atau lebih tepatnya disebut vegetasi
pantai atau vegetasi
pantai berpasir adalah tutupan vegetasi yang
tumbuh dan berkembang di pantai berpasir di atas garis pasang tertinggi
di wilayah tropika.
Secara umum, hutan ini terletak di tepi pantai, tumbuh pada tanah kering berpasir
dan berbatu dan tidak terpengaruh oleh iklim serta berada di atas garis pasang
tertinggi. Daerah penyebaran utama hutan pantai terdapat di Sumatera, Jawa,
Bali dan Sulawesi. Dilaporkan pada tahun 1990 luas hutan pantai tersisa ± 1
juta hektar (Fakuara, 1990) dan pada tahun 1996 tersisa 0,55 juta ha (Sugiarto
dan Ekariyono, 1996).
III.
Ekologi Hutan Pantai Indonesia
Kondisi
hutan pantai umumnya berbentuk substrat pasir serta ditemukan beberapa jenis
tumbuhan pioneer. Umumnya lebar hutan pantai tidak lebih dari 50 meter dan
tidak jelas batas zonasinya dengan tipe hutan lainnya serta memiliki tinggi
pohon mencapai 25 meter (Goltenboth et al., 2006).
Soerianegara
dan Indrawan (2005) menyebutkan beberapa ciri khas hutan pantai, antara lain 1)
tidak terpengaruh iklim, 2) tanah kering (tanah pasir, berbatu karang, atau
lempung), 3) tumbuh di pantai (tanah rendah pantai), 4) pohon-pohon kadang
penuh dengan epifit antara lain paku-pakuan dan anggrek di Indonesia banyak
ditemukan di pantai selatan Pulau Jawa, pantai barat daya Pulau Sumatera dan
Pantai Sulawesi.
Setidaknya,
di ekosistem hutan pantai berpasir ini terdapat dua formasi vegetasi, yang
dapat dibedakan berdasarkan struktur dan fisiognomi vegetasi,
serta komposisi floristiknya; yaitu
(1) formasi pes-caprae, dan (2) formasi Barringtonia.
Sebagian pakar, misalnya Backer, menyebutkan adanya formasi ketiga, yang
terbentuk di atas bukit (gumuk) pasir.
a)
Formasi pes-caprae
Namanya
diambil dari nama ilmiah tumbuhan (Ipomoea
pes-caprae) yang memiliki daun berbentuk serupa kaki kambing ,
yang merupakan tumbuhan tipikal di
area Terbentuk pada pantai yang bertumbuh di mana pasir diendapkan. Perakaran
tumbuhan pada formasi ini melebar dan mencengkeram ke dalam pasir, membantu
memantapkan ekosistem yang cenderung tidak stabil ini. Formasi ini terutama
terbentuk oleh tetumbuhan menjalar yang tumbuh rapat atau renggang menutupi pasir
pantai di atas garis pasang tertinggi. ini.
b)
Formasi Barringtonia
Di
sebelah belakang formasi Pes-caprae biasa ditemukan formasi
semak belukar dan pepohonan yang dinamai formasi Barringtonia.
Formasi ini mendapatkan namanya dari pohon butun (Barringtonia asiatica)
yang khas, meski terkadang tidak dijumpai, di tipe vegetasi ini Pada
pantai-pantai yang tererosi oleh abrasi, formasi Barringtonia sering
berhadapan langsung dengan garis pasang. Dalam keadaan demikian, pada baris
terluar acap didapati pohon-pohon yang miring atau yang dahan-dahannya
menjuntai di atas laut, dengan dahan terbawah rusak oleh gempuran ombak. Di
sisi belakang, formasi ini umumnya menyatu, dan sukar dibedakan dari hutan dataran rendah, atau
perlahan-lahan beralih menjadi hutan payau atau hutan
bakau tanpa garis demarkasi yang jelas.
c)
Gumuk pasir atau bukit pasir (sand dunes)
Terbentuk
dari tumpukan pasir-pasir yang tertiup angin. Formasi ini agak serupa dengan
formasi pes-caprae, dengan kondisi yang lebih kering dan tutupan
vegetasi yang terpencar-pencar. Rumput lari-lari Spinifex khas
sebagai penciri wilayah ini, kadang-kadang pula dengan cemara laut Casuarina yang
cenderung kerdil. Formasi ini contohnya berada di pantai utara Madura,
sekitar Pantai Parangtritis di Yogyakarta,
dan di pantai selatan Jawa dekatLumajang dan Puger.
Banyak
jenis-jenis satwa yang hidup di hutan pantai, namun boleh dikatakan bahwa
hampir tak ada fauna yang khas ekosistem ini. Kebanyakan satwa juga ditemukan
hidup di hutan-hutan dataran rendah, hutan payau, atau hutan bakau yang
berdekatan. Namun ada juga hewan-hewan kecil yang khas, hidup di ekosistem
pantai berpasir. Berbagai
jenis mamalia dapat dijumpai di formasi hutan pantai. jenis-jenis monyet kera (Macaca
fascicularis); lutung budeng (Trachypithecus
auratus); jelarang hitam (Ratufa
bicolor); garangan jawa (Herpestes
javanicus); musang luwak (Paradoxurus
hermaphroditus); musang rase(Viverricula
indica); dan kucing kuwuk (Prionailurus
bengalensis). Beberapa jenis hewan memanfaatkan pasir pantai yang panas
untuk menetaskan telur-telurnya. Burung-burung maleo (Macrocephalon maleo) berbagai
jenis penyu, termasuk penyu hijau (Chelonia
mydas); penyu sisik (Eretmochelys
imbricata); penyu sisik semu (Lepidochelys
olivacea); penyu tempayan (Caretta
caretta); dan penyu belimbing (Dermochelys
coriacea) diketahui membangun sarang penetasan di pasir pantai di sekitar
formasi pes-caprae.
IV.
Fungsi Hutan Pantai
Hutan pantai memiliki
keanekaragaman hayati yang dapat dimanfaatkan oleh manusia baik secara langsung
maupun secara tidak langsung. Beberapa fungsi itu antara lain:
a)
Meredam Pukulan Gelombang Tsunami
Hutan pantai bersama dengan hutan mangrove
mampu meredam amukan gelombang tsunami dengan dua cara yakni, pertama, hutan pantai memecah
gelombang air laut yang datang dan memperlambat kecepatan arus laut dan kedua, hutan pantai berperan sebagai
kanal alami sehingga memperkecil volume air yang masuk ke wilayah daratan.
b)
Mereduksi
Terjadinya Abrasi Pantai
Faktor yang menentukan terjadinya abrasi
adalah energi arus atau gelombang laut, kondisi fisik tanah dan tingkat
penutupan lahan. Tingkat penutupan oleh vegetasi pantai menjadi penentu
terjadinya abrasi pantai melalui mekanisme pengikatan dan stabilisasi tanah
pantai.
c) Melindungi ekosistem darat dari terpaan angin dan
badai sekaligus sebagai pengendali erosi pasir pantai
Vegetasi pantai dapat melindungi bangunan dan
budidaya tanaman pertanian dari kerusakan akibat badai atau angin yang
bermuatan garam dengan cara menghambat kecepatan dan memecah tekanan terpaan
angin yang menuju ke pemukiman penduduk.
d)
Sebagai Habitat Flora dan Fauna
Hutan pantai merupakan habitat hidup berbagai
flora dan fauna baik yang berstatus dilindungi, khas maupun endemik.
V.
Penutup
Hutan Indonesia, tak terkecuali
hutan pantai memiliki keanekaragaman hayati yang dapat dimanfaatkan oleh
manusia baik secara langsung maupun secara tidak langsung.Fungsi dan manfaat
ini harus terus dijaga dan tetap dipertahankan kualitas dan kuantitasnya demi
keberlangsungan hidup manusia sekarang dan yang akan datang. Karena rusaknya
ekosistem hutan pantai dapat menimbulkan berbagai permasalahan terutama
berkaitan dengan abrasi pantai, intrusi air laut, perubahan iklim mikro, dan
turunnya nilai produktivitas hayati di ekosistem pantai.
Daftar
Pustaka
Tuheteru, FD dan Mahfudz. 2012. Ekologi,
Manfaat & Rehabilitasi, Hutan Pantai Indonesia.
Balai Penelitian Kehutanan
Manado. Manado, Indonesia
.
www.prosea.net. Hutan pantai. [28
Pebruari 2008].
Environment Bay of
Plenty. 2007. Shelter belt overview. Whakatane, New
Zealand. http://www.envbop.govt.nz. [6 Desember 2007].
www.wikipedia.com. Hutan Pantai [11 Oktober 2014]
Comments
Post a Comment