Sejarah Tanah Partikelir di Probolinggo

Sejarah Tanah Partikelir di Probolinggo
I.Pendahuluan
Tanah partikelir adalah tanah eigendom, yang mempunyai sifat dan corak yang istimewa[1]. Pada awal mulanya (sebelum diadakan pengambilan tanah-tanah itu kepada Negara) luasnya sampai sejumlah 1.150.000 ha, terutama terletak di Jawa Barat. Yang membedakan tanah partikelir dari tanah eigendom lainnya, ialah adanya hak-hak pada pemiliknya, yang bersifat hak-hak kenegaraan, sebagian misalnya hak untuk mengangkat/memberhentikan kepala-kepala kampung/desa/umum yang diberi kekuasaan dan kewajiban kepolisian, hak menuntut kerja paksa (rodi) atau uang pengganti rodi dari penduduk yang berdiam di tanah-tanah itu dan untuk mengadakan pemungutan-pemungutan, baik berupa uang maupun hasil tanah, dari penduduk yang mempunyai "hak usaha". Hak-hak demikian itu dahulu disebut "landheerlijke rechten" dan di dalam Undang-undang ini disebut "hak-hak pertuanan". Di dalam ketatanegaraan yang modern hak-hak pertuanan itu tidak boleh tidak haruslah hanya ada pada Pemerintah (Negara). Hak-hak pertuanan itu adal yang sudah diatur dengan peraturan Undang-undang misalnya yang mengenai tanah-tanah partikelir disebelah Barat Cimanuk dengan Ordonansi tanggal 3 Agustus 1912 (S. 1912 - 422). Di tanah-tanah partikelir lainnya hak-hak itu didasarkan pada adat setempat. Lembaga tanah partikelir yang memberikan hak-hak istimewa kepada para pemiliknya ("tuan-tuan tanah") sebagai yang diuraikan di atas itu, seakan-akan menimbulkan negara-negara kecil di dalam Negara kita dan benar-benar tidak sesuai lagi dengan sifat dan azas-azas Negara kita sebagai negara modern. Lagi pula tanah-tanah partikelir itu ternyata selalu merupakan sumber kesulitan, kegaduhan dan sumber dari pada keadaan-keadaan yang buruk, disebabkan terutama karena kurangnya perhatian tuan-tuan tanah terhadap penduduk juga terhadap usaha-usaha pembangunan, yang tidak langsung membawa keuntungan baginya. Keadaan penghidupan penduduk yang menyedihkan itu disebabkan pula, karena di dalam segala hal tuan-tuan tanah itu selalu berada dalam kedudukan yang kuat. Sikap tuan-tuan tanah di dalam menggunakan hak-hak dan tanahnya, yang menyebabkan terhambatnya kemajuan penduduk, terang tidak membawa faedah bagi masyarakat, hal mana sudah barang tentu bertentangan dengan azas keadaan sosial yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan Negara. Mengingat akan hal-hal di atas itu maka sudahlah seharusnya, bahwa untuk kepentingan umum tanah-tanah partikelir, yang kini masih ada di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi dihapuskan di dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
II. Sejarah Tanah partikelir
II.1 Awal Pengangkatan Herman Willem Daendels (1808 – 1811)
Menjelang berakhirnya kekusaan VOC di Indonesia, di Belanda telah terjadi pengaruh politik sebagai akibat pengaruh Revolusi perancis. Dalam Revolusi tersebut keuasaan Raja Willem V jatuh. Di Belanda selanjutnya berdiri republik Betaaf yang kemudian membubarkan VOC. Namun sebelum berkuasa di Indonesia, Republik Betaaf telah terlebih dahulu bubar. Belanda kembali menjadi kerajaan di bawah pengaruh Perancis pada tahun 1806.
 Sejak Belanda dikuasai oleh Prancis maka kaisar Napoleon mengangkat adiknya Louis Napoleon menjadi penguasa di negeri Belanda. Louis Napoleon khawatir atas keberadaan Pulau Jawa yang merupakan jantung jajahan Belanda di Indonesia jatuh ke tangan Inggris. Oleh karena itu Louis Napoleon kemudian mengirimkan Herman Willem Daendels sebagai gubernur jenderal di Indonesia dengan tugas utama mempertahankan jawa dari ancaman Inggris. dan Daendels juga di tugaskan untuk mengatur pemerintahan di Indonesia. Tanggal 1 Januari 1808 bersama ajudannya mendarat di Banten. Pada tanggal 15 Januari 1808, Gubernur Jenderal Wiese menyerahkan keuasaannya kepada Daendels dengan tugas utama yaitu:
1)       Mempertahankan pulau Jawa agar tidak jatuh ke tangan Inggris
2)       Memperbaiki keadaan tanah jajahan di Indonesia
Kebijakan Pemerintah Herman Willem Daendels
Kebijakan yang diambil Daendels sangat berkaitan dengan tugas utamanya yaitu untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan pasukan Inggris. Dan pada umumnya usaha – usaha Daendels dalam menjalankan program – programnya adalah dalam bidang pertanahan kemiliteran. Dalam upaya mempertahankan Pulau Jawa, Daendels melakukan hal-hal berikut:
1)       Membangun ketentaraan, pendirian tangsi-tangsi/ benteng, pabrik mesiu/senjata di Semarang dan Surabaya serta rumah sakit tentara.
2)       Membuat jalan pos dari Anyer sampai Panarukan dengan panjang sekitar 1.000 km.
3)       Membangun pelabuhan di Anyer dan Ujung Kulon untuk kepentingan perang.
4)       Memberlakukan kerja rodi atau kerja paksa untuk membangun pangkalan tentara.
Langkah – Langkah Herman Willem Daendels dalam Membiayai Program – Programnya. Usaha yang dilakukan oleh Daendels membutuhkan banyak biaya untuk menunjang jalannya program – program yang di jalankan Daendels, sehingga Daendels menempuh jalan  sebagai berikut:
1)       Melaksanakan Contingenten yaitu keharusan bagi rakyat untuk menyerahkan pajak berupa hasil bumi
2)       Melaksanakan Verplichte Leverantie yaitu keharusan bagi rakyat untuk menjual paksa hasil bumi kepada pemerintah dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah.
3)       Penjualan tanah kepada orang-orang partikelir (orang Belanda atau Cina, sehingga lahirlah tanah-tanah milik swasta (particuliere landerijen).
4)       Melaksanakan Preanger Stelsel yaitu keharusan bagi rakyat Priangan untuk menanam kopi dan perluasan tanaman kopi karena hasilnya menguntungkan.
II.2 Masalah Tanah pada Masa Herman Willem Daendels
Pada masa pemerintahan Daendels  dikeluarkan suatu kebijakan yang benar – benar langsung menyangkut  penguasaan atas tanah oleh bangsa lain di bumi Indonesia. Politik yang dijalankan, berkaitan dengan pertanahan adalah menjual tanah – tanah kepada pemilik modal besar terutama kepada orang cina, Arab maupun bangsa Belanda sendiri. Tanah – tanah yang dijual ini dikenal dengan nama tanah partikelir[2]  Tanah partikelir adalah tanah eigendom yang mempunyai sifat dan corak istimewa. Yang membedakan dengan tanah eigendom lainnya adalah adanya hak-hak pada pemiliknya yang bersifat kenegaraan yang disebut landheerlijke rechten atau hak pertuanan. Hak Pertuanan misalnya:
·         Hak untuk mengangkat atau mengesahkan pemilikan serta memberhentikan kepala-kepala kampung/desa;
·         Hak untuk menuntut kerja paksa (rodi) atau memungut uang pengganti kerja paksa dari penduduk;
·         Hak untuk mengadakan pungutan-pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk;
·         Hak untuk mendirikan pasar-pasar;
·         Hak untuk memungut biaya pemakaian jalan dan penyebrangan;
·         Hak untuk mengharuskan penduduk tiga hari sekali memotong rumput bagi keperluan tuan tanah, sehari dalam seminggu untuk menjaga rumah atau gudang-gudangnya dan sebagainya.
II.3 Penjualan Tanah Partikelir pada Masa Herman Willem Daendels
Tanah partikelir (Particuliere Landerijen) timbul sejak munculnya VOC hingga seperempat pertama abad ke 19. Munculnya tanah partikelir berkaitan dengan praktek penjualan atau penyewaan tanah yang dilakukan oleh orang – orang Belanda dan pemilik tanah jabatan (apanage) kepada masyarakat swasta (partikelir).  Mereka menjual atau menyewa tanahnya karena kekurangan uang. Tanah partikelir tersebar di daerah pedalaman antara lain di Batavia dan Bogor, Banten, Karawang, Cirebon, semarang, Blora, Lasem, Tuban, dan Surabaya.
Para pemilik tanah partikelir biasa disebut sebagai tuan tanah. Mereka adalah orang – orang kaya yang berusaha mencari keuntungan sebesar – besarnya di tanah jajahan. Sejak masa pemerintahan VOC, Daendels dan Raffles, para tuan tanah non pribumi itu terdiri dari orang – orang Belanda, Cina dan Arab. Para tuan tanah partikelir memiliki kedudukan dan kekuasaan seperti kepala desa atau bupati. Hal ini disebabkan apabila mereka membeli atau menyewa tanah yang luas (misalnya, berupa desa), mereka tidak saja memiliki tanahnya, melainkan dengan segenap penduduk yang tinggal di tanah tersebut. Oleh karena itu penduduk di tanah partikelir harus tunduk dan patuh kepada aturan – aturan yang di berlakukan para tuan tanah. Aturan – aturan yang di tentukan oleh para tuan tanah yaitu:
1)       Menarik hasil panen secara langsung (biasanya 10 % dari hasil panen)
2)       Menarik uang sewa rumah, bengkel dan warung serta
3)       Menggerahkan penduduk untuk bekerja rodi
Selain itu para tuan tanah juga mengangkat pegawai admiistrasi, pengawas, dan pemungut pajak. Tujuan pengangkatan itu untuk mengeksplorasi kekayaan yang terdapat pada tanah partikelir tersebut. Maka mengusahakan berbgai tanaman yang berkualitas ekspor seperti kopi, teh, cokelat, tebu, kayu, lada dan indigo. Dengan kondisi seperti ini, kehidupan di tanah partikelir tidak berbeda dengan penerapan perbudakan terhadap rakyat desa dan bupati bukan menjadi pelindung dan pengayom rakyat, melainkan mereka sudah menjadi pegawai tuan tanah yang memeras penduduk secara habis – habisan. mereka tidak sadar telah menjadi alat bagi bangsa asing.
Kegiatan tanah partikelir semula memang menguntungkan bagi kaum tuan tanah, penguasa pribumi, dan pemerintah colonial. akan tetapi, lambat laun pemerintah kolonial Belanda merasakan kerugian semenjak kepemilikan tanah partikelir semakin meluas, di tambah lagi hasil – hasil produksi desa dan tenaga kerja banyak yang jatuh ke tangan tuan tanah sehingga pemasukan kas pemerintah menjadi berkurang. Ketika pemerintah kolnial belanda di bawah kepemimpinan Van der Capellen, sistem penjualan dan penyewaan tanah partikelir di larang dan mulai berlaku sejak tahun 1817.
III. Usaha pengambilan tanah-tanah partikelir menjadi tanah Negara.
Pertimbangan-pertimbangan itulah pula, yang mendorong pemerintah Belanda untuk secara insidentel mengadakan pembelian kembali dan mencantumkan di dalam ayat 1 pasal 62 Regering reglement (S. 1855-2) larangan bagi para Gubernur Jenderal untuk menjual tanah-tanah yang luas kepada perseorangan. Di samping itu diadakan juga usaha-usaha untuk sekedar memperkecil kemungkinan itmbulnya keadaan-keadaan yang menyedihkan sebagai yang diuraikan di atas, dengan mengeluarkan peraturan tentang tanah-tanah partikelir di sebelah Barat Cimanuk pada tahun 1836, peraturan mana dengan S. 1912 - 422 diganti dengan peraturan baru, yang masih berlaku hingga sekarang. Di dalam peraturan itu diadakan ketentuan-ketentuan tentang hak, kekuasaan dan kewajiban tuan-tuan tanah di dalam hubungannya dengan Negara dan penduduk. Demikian juga mengenai tanah-tanah partikelir di Sulawesi ada beberapa ketentuan dalam Bijblad 3909. Mengenai tanah-tanah lainnya, yaitu yang terletak di sebelah Timur Cimanuk, tidak ada peraturan umumnya karena keadaannya berlainan dari pada tanah-tanah partikelir di sebelah Barat Cimanuk dan keadaan masing-masing pun berbeda satu dengan yang lain. Demikianlah maka di tanah-tanah partikelir tersebut hingga kini segala sesuatunya masih diatur menurut adat setempat. Hanya mengenai hubungan tuan-tuan tanah dan penduduk dengan Pemerintah, dalam S. 1880 - 150 diadakan peraturan sekedarnya.
Biarpun sejak 1810 telah terjadi pembelian kembali, lagi ada sejak 1855 sebagaimana tersebut di atas telah ada penentuan tidak akan menimbulkan tanah-tanah partikelir baru lagi, akan tetapi barulah sejak 1910, atas desakan baik dari kalangan-kalangan di luar maupun di dalam Parlemen Belanda, dilaksanakan usaha pengembalian itu secara teratur. Berturut-turut dikeluarkanlah Wet tanggal 27 Nopember 1910 (S. 1911 - 38), Koninklijk Besluit tanggal 12 Agustus 1912 No. 54 (S 1912 - 480) dan Koninklijk Besluit tanggal 12 Agustus 1912 No. 55 (S. 1912 - 481), yang memberikan ketentuan-ketentuan khusus tentang cara pengembalian tanah-tanah partikelir menjadi tanah Negara, di dalam hal uaha pembelian secara damai tidak berhasil. Berangsur-angsur telah banyak tanah-tanah partikelir yang dapat dibeli kembali; diantara tahun 1912 dan 1931 saja ada seluas 456.709 Hektar. Berhubung dengan adanya penghematan, di antara 1931 dan 1936 tidak diadakan pembelian lagi.
Pada tahun 1935 didirikanlah sebagai usaha darurat: N.V. Javansche Particuliere Landerijen Maatschappij, yang semua saha-sahamnya ada ditangan Pemerintah Maatschappij tersebut mendapat tugas untuk mengusahakan pembelian kembali dan menguasai serta mengurus tanah-tanah partikelir yang telah dibelinya itu, selama Pemerintah belum dapat mengopernya sendiri. Diantara tahun 1936 - 1941 sudah dibeli dan diurus oleh Maatschappij itu: 13 tanah-tanah partikelir seluas 80.713 hektare. Tetapi oleh karena tanah-tanah itu selama belum dibeli oleh Pemerintah masih tetap berstatus tanah partikelir, maka bagi penduduk tidaklah terasa adanya perubahan yang berarti. Dalam tahun 1949 tanah-tanah N.V. itu dibeli oleh Pemerintah dan pada tanggal 13 Desember 1951 N.V. Javasche Particuliere Landerijen Maatschappij, itu dibubarkan.
Selama pemerintah pendudukan Jepang tidak terjadi pembelian kembali. Adapun tanah-tanah partikelir itu diurus oleh Kantor yang dinamakan "Siriyocti Kanrikoosya" (Undang-undang Balatentara Dai Nippon tanggal 1 bulan 6 tahun Syoowa 17 (2602) jo Osamu Serei No. 2 tanggal 30 bulan 1 tahun Syoowa 18 (2603).
Sesudah pendudukan Jepang maka oleh Pemerintah Hindia Belanda usaha pembelian itu dimulai lagi. Terutama terdorong oleh keadaan politik dan perkembangan masyarakat pada waktu itu, usaha diselenggarakan secara besar-besaran. Dalam tahun 1948 dibentuklah sebuah Panitia yang diberi tugas untuk di dalam waktu yang singkat, mengajukan usul-usul kepada Pemerintah tentang cara yang sebaik-baiknya untuk menglikuidasi tanah-tanah partikelir yang masih ada. Berdasar atas usul Panitia itu oleh Pemerintah dengan keputusannya tanggal 8 April 1949 No. 1 ditetapkan suatu peraturan likuidasi, atas dasar mana dengan secara damai dapat dikembalikan kepada Negara 48 tanah partikelir seluas 469.506 ha, semuanya terletak di sebelah Barat Cimanuk.
Dalam pada itu sebelum diadakan usaha pembelian kembali secara besar-besaran, mengingat akan suasana politik dan keadaan keamanan pada waktu itu, telah dikeluarkan Verordening CCO-Amacab Jawa dan Madura tanggal 8 Nopember 1946 No. XXIX, yang menentukan, bahwa penggunaan hak-hak pemilik tanah-tanah partikelir untuk sementara hanya diperbolehkan dengan izin istimewa. Peraturan tersebut memuat larangan exploitasi tanah-tanah partikelir tanpa izin Residen. Di dalam prakteknya hal itu berarti pembekuan hak-hak pertuanan, oleh karena izin itu hanya boleh diberikan untuk mengusahakan kembali bagian-bagian tanah kongsi yang merupakan perkebunan. (Tanah kongsi adalah bagian-bagian tanah partikelir yang bukan tanah usaha). Dengan demikian maka hingga kini tidaklah lagi ada pemilik tanah partikelir yang menerima hasil dari hak-hak pertuanannya.
Pada waktu pemulihan kedaulatan di Jawa masih ada sisa tanah-tanah partikelir sebagai berikut:
·         33 tanah agraris (pertanian) dengan luas  21.798 ha.
·         109 tanah dalam kota dengan luas 7.125 ha.
·         Di Sulawesi ada kira-kira 50 tanah partikelir seluas 2.500 ha.
Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan kemudian Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan saja melanjutkan pembelian kembali tanah-tanah partikelir, akan tetapi sebagai Pemerintah nasional lebih-lebih merasakan hal itu sebagai kewajiban yang pokok dan utama. Demikianlah mula-mula disusun rencana pembelian dengan jangka waktu 5 tahun. Akan tetapi berhubung dengan rupa-rupa kesulitan mengenai keuangan Negara, rencana tersebut tidak dapat dilaksanakan sebagai yang diharapkan. Hingga akhir tahun 1956 dapat dibeli kembali 25 tanah partikelir yang luasnya berjumlah 11.759 ha. Pada saat ini di Jawa masih ada sisa 117 tanah partikelir yang luasnya 17.164 ha. Diantara tanah-tanah itu ada sebagian yang dimilik oleh daerah-daerah swatantra, yaitu:
·         3 bidang tanah di Kotapraja Jakarta Raya , luasnya 1.360 ha.
·         1 bidang tanah di Kota besar Semarang luasnya 355 ha.
·         7 bidang tanah di Kota besar Surabaya 786 ha.
Kecuali kesulitan mengenai keuangan, usaha penghapusan tanah-tanah partikelir itu menjumpai kesukaran juga yang disebabkan oleh sikap tuan tanah, yang hanya mau melepaskan tanahnya dengan harga yang jauh lebih tinggi dari pada yang selayaknya sesuai dengan nilainya sebagai tanah partikelir. Berhubung dengan itu maka usaha pembelian secara damai acap kali menemui jalan buntu. Di dalam hal yang demikian itu bagi Pemerintah sesungguhnya masih terbuka kemungkinan akan mempergunakan ketentuan-ketentuan dalam S. 1911 - 38 jo. S. 1912 - 48 dan 481 dan yang mengenai tanah-tanah partikelir di luar Jawa ketentuan-ketentuan dalam "ontergeningsordonnantie" (S. 1920 - 574), sebagaimana misalnya yang terjadi dalam tahun 1953 mengenai beberapa tanah partikelir di Jakarta, tersebut dalam Undang-undang No. 6/1953. L.N. 1953 - 27. Akan tetapi acara pembelian yang ditentukan dalam peraturan-peraturan tersebut tidak saja sulit, melainkan juga memerlukan waktu yang tidak sedikit karena misalnya tiap-tiap kali diperlukan suatu "nutsverklaring" dengan Undang-undang dan di samping itu tetap harus ditempuh jalan perundingan antara Pemerintah dan pemilik. Jika perundingan tersebut tidak mencapai hasil maka haruslah oleh Pemerintah diajukan tuntutan kepada pengadilan. Dengan demikian maka tidaklah mungkin likuidasi itu tercapai di dalam waktu yang singkat, sebagai yang diharapkan oleh masyarakat. Mengingat, bahwa hapusnya tanah-tanah partikelir itu sudah menjadi tuntutan nasional dan harus diselesaikan di dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, maka dipandang perlu untuk menyusun baru secara penghapusan, secara integral, yang dapat dilaksanakan dengan cepat, tetapi tetap menjamin hak-hak penduduk dan pemberian ganti kerugian yang layak, sebagaimana ditentukan dalam pasal 27 U.U.D.S. Acara penghapusan yang baru itu disusun dalam Undang-undang ini.
IV. Sejarah Tanah Partikelir di Probolinggo
IV.1 Probolinggo Menjadi Tanah Partikelir
Probolinggo, kabupaten di bagian timur Provinsi Jawa Timur, sejak masa Kerajaan Mataram hingga kini merupakan kawasan subur dan kaya hasil bumi. Kawasan ini menjadi aset bernilai tinggi bagi para penguasa Pulau Jawa dan digunakan sebagai modal untuk mempertahankan kekuasaannya. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, Probolinggo adalah salah satu kawasan yang dijual sebagai tanah partikelir demi melancarkan pembuatan Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) Anyer-Panarukan.
Sejarawan Universitas Indonesia, Djoko Marihandono, mengatakan, kepemilikan Probolinggo oleh Pemerintah Hindia Belanda diperkuat pasca-Perjanjian Giyanti tahun 1755 — sebuah momentum terpecahnya kembali Pulau Jawa di tangan beberapa penguasa. Pangeran Mangkubumi yang kemudian mendapat gelar Sultan Hamengku Buwono I mendapat setengah bagian dan berkedudukan di Yogyakarta. Setengahnya lagi tetap dipegang oleh Pakubuwono III. Adapun Pemerintah Hindia Belanda tetap memiliki kawasan pesisir, termasuk Probolinggo.
Saat membangun Jalan Raya Pos, Daendels dalam posisi kesulitan keuangan. Blokade Inggris terhadap Pulau Jawa menyebabkan Daendels sulit mendapat pasokan dana dari Belanda. Cara praktis pun ditempuh, menjual tanah negara di kawasan pesisir kepada orang-orang kaya, yaitu Bogor atau Buitenzorg, Tangerang, Banten, Krawang, Besuki, Panarukan, dan Probolinggo. Probolinggo dijual dengan harga cukup tinggi, yaitu 1 juta ringgit uang perak. Beberapa kawasan lain, seperti Buitenzorg, Tangerang, Banten, Krawang, dan Besuki hingga Panarukan dijual juga seharga 400.000-1,5 juta ringgit perak. Sementara itu, pengamat sejarah Probolinggo dan anggota tim penelitian dan penelusuran pendahuluan sejarah berdirinya Kabupaten Probolinggo, Harsito, mengatakan, nilai penjualan Probolinggo menembus angka 2,5 juta ringgit perak.
Gubernur Jenderal Meester Herman William Daendels juga banyak menjual tanah negara kepada bangsa asing. “Transaksi terbesarnya adalah penjualan seluruh kabupaten Probolinggo di Jawa Timur kepada orang Cina, Han Ti Ko, dengan harga satu juta dolar. Ini, dan beberapa transaksi lain, murni usaha spekulatif  di pihak pembeli. Untunglah Daendels memerintah cukup lama sehingga sehingga bisa sepenuhnya menjalankan rencana-rencananya, yang akan berakibat separuh penduduk Jawa terpuruk menjadi hamba sahaya, taillable et corveable a merci (yang bisa diapakan saja oleh tuannya)” (Vlekke, 1958:283). Pusat Pemerintahan (Kabupaten) dipindahkan di sebelah Selatan Alun-alun, seperti keadaan sekarang ini.
Tokoh pedagang kaya asal Probolinggo, Han Ti Ko alias Han Keek Koo, disebut membeli kawasan ini dari Belanda dengan 20 kali angsuran. Tieanto Handjojo (57) atau Han Kok Tie, keturunan ketujuh Han Ti Ko, mengatakan, kekuasaan nenek moyangnya kala itu mencapai kawasan Dringu di timur, Ketapang di barat, Wonoasih di utara, dan Mayangan di selatan. Dengan wilayah kekuasaannya yang amat luas, Han Ti Ko disebut-sebut diangkat oleh Belanda sebagai Bupati Probolinggo dengan masa pemerintahan 1810-1813.Han Ti Ko dianggap berpihak kepada Belanda dan mengeksploitasi Probolinggo. Warga setempat bergejolak marah, memicu pemberontakan yang berakhir dengan lengsernya Han Ti Ko.
Pasca pemberontakan dan seiring menyerahnya Belanda kepada Inggris, Probolinggo kembali berganti menjadi milik Inggris. Saat kemerdekaan, Probolinggo menjadi bagian dari Republik Indonesia. Meski terus berganti pemilik, Probolinggo tidak pernah lepas dari kekayaan tanahnya yang menghasilkan berbagai produk perkebunan unggulan, seperti tebu, mangga, dan anggur, serta potensi perikanan.
IV.2 Gemeente (Kota) Probolinggo
Pada masa Pemerintahan Raden Adipati Ario Nitinegoro, Bupati Probolinggo ke 17, Pemerintah Hindia Belanda membentuk “Gemeente Probolinggo” (Kota Probolinggo) pada tanggal 1 Juli 1918. Tanggal 1 Juli 1918 kemudian dijadikan sebagai hari jadinya Pemerintah Kota Probolinggo. Bersamaan dengan HUT Bhayangkara, tanggal 1 Juli oleh Pemerintah Kota madya Probolinggo telah beberapa kali diperingati sebagai hari jadi / HUT Pemerintah Kota Probolinggo. Tahun 1926 Gemeente diubah menjadi Stads Gemeente berdasarkan Stbl 365 Tahun 1926. Gemeente Probolinggo selanjutnya menjadi Kota Probolinggo berdasarkan Ordonansi pembentukan kota  (Stbl. 1928 No.500).
Sejak tahun 1918 Gemeente Probolinggo dipegang/dijabat oleh seorang Asisten Residen (di bawah Karesidenan Pasuruan). Baru tahun 1928 diangkat seorang Burgemeester (Walikota) sebagai kepala daerah yang berkuasa penuh. Pada tahun 1929 Probolinggo pernah menjadi Ibukota Karesidenan Probolinggo. Burgemeester (Walikota) Probolinggo pertama ialah Tn. Meyer. Tahun 1935 pangkat Burgemeester untuk Stadsgemeente Probolinggo dihapus dan sebagai pejabat diangkat Asisten Residen yang berkedudukan di Probolinggo (1935-1942) yaitu LA. de Graaf dan diganti L. Noe.

IV.3 Tanah Eks Partikelir di Probolinggo
Pemerintah penjajah/Hindia Belanda setelah kekuasaanya di Indonesia diganti oleh pemerintah/ penjajah Jepang dan kemudian Indonesia menjadi negara merdeka, berambisi kembali untuk tetap menguasai/menjajah Indonesia. Tanggal 21 Juli 1947 Kota Probolinggo diduduki oleh tentara kolonial Belanda. Diangkatlah seorang Asisten Residen Bayangan dan sebagai Bergemeester diangkat Saudara Saroso Harsono menjadi Walikota RI. Pada masa Pemerintahan Raden Soejoed Alip, Bupati Probolinggo ke 21, Kabupaten Probolinggo pada pertengahan bulan Pebruari 1948 dibagi menjadi 2 (dua), yaitu Kabupaten Kraksaan dan Kabupaten Probolinggo (berdasarkan Staatsblad 1948 No. 201). Gemeente Probolinggo dihapus dan disatukan dengan Kabupaten Probolinggo (berdasarkan Staatsblad 1948 No. 306).

Gambar 1. Peta Penggunaan Tanah Kabupaten Probolinggo 2013 (Sumber : Pengolahan data.2016)
Tanah bekas partikelir kemudian menjadi tanah Negara dan sebagian besar dikelola menjadi perkebunan, dengan total luas tanah 1124.37 hektar. Secara spasial tanah perkebunan tersebar di 7 Kecamatan di Probolinggo yaitu di Kecamatan Gending, Krucil, Paiton, Sumber, Tiris, Tongas, dan Wonomerto dengan luas tanah perkebunan terbesar di Kecamatan Krucil.
Penggunaan
 Luas (Hektar)
Danau/Waduk/Situ
107.02
Hutan
47195.20
Industri
415.92
Kebun
3351.66
Padang
1610.96
Perkebunan
1124.37
Permukiman
12254.64
Persawahan
39016.90
Pertanian tanah kering semusim
54522.82
Sungai
162.67
Tambak
2874.24
Tanah terbuka
4085.24
Total
166721.637
Tabel 1. Luas Penggunaan Tanah Kab.Probolinggo Tahun 2013 ( Sumber : Pengolahan data 2016)
Kecamatan
Luas Perkebunan (Hektar)
GENDING
15.16
KRUCIL
469.60
PAITON
5.01
SUMBER
57.20
TIRIS
273.61
TONGAS
112.70
WONOMERTO
191.09
Total
1124.37
Tabel 2. Luas Perkebunan di Kecamatan Kab.Probolinggo Tahun 2013 ( Sumber : Pengolahan data 2016)
Jika dilihat berdasarkan kepemilikannya maka tanah-tanah perkebunan memiliki jenis Hak Guna Usaha. Kabupaten Probolinggo terdapat 78 HGU dengan total luas 1945 hektar.

Tabel.3 Jumlah dan Luas HGU Kab.Probolinggo (Sumber : BPN 2016)
V. Kesimpulan
Menjelang berakhirnya kekusaan VOC di Indonesia, Sejak Belanda dikuasai oleh Prancis maka kaisar Napoleon mengangkat adiknya Louis Napoleon menjadi penguasa di negeri Belanda. Louis Napoleon khawatir atas keberadaan Pulau Jawa yang merupakan jantung jajahan Belanda di Indonesia jatuh ke tangan Inggris. Oleh karena itu Louis Napoleon kemudian mengirimkan Herman Willem Daendels sebagai gubernur jenderal di Indonesia.Tanggal 1 Januari 1808 bersama ajudannya mendarat di Banten. Pada tanggal 15 Januari 1808, Gubernur Jenderal Wiese menyerahkan keuasaannya kepada Daendels dengan tugas utama yaitu:
1)       Mempertahankan pulau Jawa agar tidak jatuh ke tangan Inggris
2)       Memperbaiki keadaan tanah jajahan di Indonesia
Dalam menjalankan pemerintahannya sebagai gubernur, Herman Willem Daendels melakukan kebijakan-kebijakan sebagai berikut:
1)       Membangun ketentaraan, pendirian tangsi-tangsi/ benteng, pabrik mesiu/senjata di Semarang dan Surabaya serta rumah sakit tentara.
2)       Membuat jalan pos dari Anyer sampai Panarukan dengan panjang sekitar 1.000 km.
3)       Membangun pelabuhan di Anyer dan Ujung Kulon untuk kepentingan perang.
4)       Memberlakukan kerja rodi atau kerja paksa untuk membangun pangkalan tentara.
Usaha yang dilakukan oleh Daendels membutuhkan banyak biaya untuk menunjang jalannya program – program yang di jalankan Daendels, sehingga Daendels menempuh jalan  sebagai berikut:
1)       Melaksanakan Contingenten yaitu keharusan bagi rakyat untuk menyerahkan pajak berupa hasil bumi
2)       Melaksanakan Verplichte Leverantie yaitu keharusan bagi rakyat untuk menjual paksa hasil bumi kepada pemerintah dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah.
3)       Penjualan tanah kepada orang-orang partikelir (orang Belanda atau Cina, sehingga lahirlah tanah-tanah milik swasta (particuliere landerijen).
4)       Melaksanakan Preanger Stelsel yaitu keharusan bagi rakyat Priangan untuk menanam kopi dan perluasan tanaman kopi karena hasilnya menguntungkan.
Masalah tanah yang muncul pada masa pemerintahan gubernur Herman Willem daendels adalah penjualan tanah partikelir yang di jual ke Cina, Arab dan Belanda. Tanah partikelir tersebar di daerah pedalaman antara lain di Batavia dan Bogor, Banten, Karawang, Cirebon, semarang, Blora, Lasem, Tuban, dan Surabaya.
Daendels adalah penganut cita-cita Revolusi Perancis: “Kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan”. Tapi, sebagai seorang penguasa yang revolusioner, ia menjadi diktator yang bengis. Perbudakan bukannya dilarang tapi dibiarkan jalan terus. Karena menimbulkan penderitaan dan kebencian rakyat Indonesia, tingkah Daendels telah menyebabkan banyak pengaduan kepada Louis Napoleon hingga pada tahun 1811 ia dipanggil pulang oleh J.W. Janssens. Berakhirlah karirnya sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

DAFTAR PUSTAKA
Gunawan Wiradi, 2009. Seluk Beluk Masalah Agraria, Yogyakarta: STPN.
Prof. Dr. H. Muchsin, SH, dkk, 2010. Hukum Agraria Indonesia dalam Perspektif Sejarah, Bandung: Refika Aditama
Sediono MP. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, 2004. Pembaruan Agraria : Antara Negara dan Pasar dalam Jurnal Analisis Sosial vol.9 no.1 April 2004, Bandung : Akatiga.
Toer, Pramoedya Ananta. Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Jakarta: Lentera Dipantara. 2005.
Sartono Kartodirjo, dkk, 1977, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid IV dan V, Jakarta: Balai Pustaka.
Agung Ari Widodo. Sistem Penguasaan Tanah pada masa Pemerintahan Letnan Gubernur Jenderal Raffles (1811-1816).http:/bungagung.blogspot.com/2009/2/sistem-penguasaan-tanah-pada-masa.html
Ahmadin.Masalah Agraria di Indonesia masa Kolonial. http://ahmadinumar.blogspot.com/2012/06/masalah-agraria-di-indonesia-masa.htm
Dwi Putro Sugiarto. SEJARAH KONFLIK AGRARIA BERKEPANJANGAN DI MASA PRA KEMERDEKAAN. http://tnrawku.wordpress.com/2012/3/12/sejarah-konflik-agraria-berkepanjangan-di-masa-pra-kemerdekaan/
Gardu Opini. “PERKEMBANGAN KEKUASAAN BARAT di INDONESIA PASCA VOC” – resume. http://garduopini.wordpress.com2012/03/28/perkembangankekuasaan-barat-di-indonesia-pasca-voc-resume/
Iwan Nurdin. Pola Umum Penguasaan Tanah Era Kolonial Di Jawa. http://ppijkt.wordpress.com/2007/12/17/pola-umum-penguasaan-tanah-erakolonial-di-jawa-1/
Mitha Faruk. Sejarah Indonesia. http:/mithafaruk111.blogspotcom/2013/02/sejarahindonesia7.html




[1] Boedi Harsono,op.cit, hal.93
[2] R.M. Sudikno Mertokusumo, dkk., 1988: 2.15

Comments

Popular posts from this blog

Hutan Pantai , Ekologi, dan Fungsinya

Efek Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Peningkatan Suhu dan Albedo Di Jakarta Selatan

Teknologi GPS Dan Fishfinder Untuk Nelayan Modern