Penguasaan dan Penggunaan Tanah Untuk Kemakmuran Rakyat

Penguasaan dan Penggunaan Tanah Untuk Kemakmuran Rakyat
I.Pendahuluan
Amanat UUD 1945 seperti yang diuraikan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Oleh sebab itu, harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penguasaan tanah oleh negara mempunyai arti bahwa negara mempunyai wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaannya. Atas dasar hak menguasai ini, negara dapat menentukan bermacam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan dan dipunyai oleh orang perorang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, serta badan-badan hukum.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan menyebutkan bahwa tanah secara fisik dapat diartikan sebagai permukaan bumi. Atas dasar pemanfaatannya, penggunaan tanah dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu penggunaan untuk hutan dan penggunaan lainnya. Atas dasar fungsinya, kawasan dibedakan dalam kawasan budi daya dan kawasan lindung. Sebaliknya, berdasarkan penguasaan dan atau pemilikannya, tanah dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu tanah yang langsung dikuasai oleh negara dan tanah hak sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan.
Penataan pertanahan adalah upaya penataan aspek fisik pemanfaatan tanah dan penataan aspek hukum penguasaan tanah untuk menunjang pelaksanaan pembangunan. Upaya penataan pertanahan secara keseluruhan dilakukan melalui dua pendekatan yang dilaksanakan secara saling melengkapi, yaitu pendekatan fisik penataan penggunaan atau pemanfaatan tanah dan pendekatan aspek hukum penataan atau legalitas penguasaan tanah. Kegiatan penataan penggunaan tanah secara berencana merupakan upaya pengendalian penggunaan tanah untuk mewujudkan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Sebaliknya, kegiatan penataan penguasaan tanah merupakan suatu upaya untuk mengatur pemberian status hukum atas tanah yang diarahkan agar pemanfaatannya dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan makin meningkatnya jumlah penduduk dan kegiatan pembangunan, sumber daya alam, terutama lahan dan air yang terbatas jumlahnya perlu direncanakan dengan baik agar peman-faatannya seefektif dan seefisien mungkin, untuk menjamin pembangunan yang berkelanjutan dan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat secara merata. Penataan ruang dan penataan pertanahan merupakan perangkat untuk mengupayakan tercapainya hal-hal tersebut. Melalui penataan ruang, pemanfaatan sumber daya alam seperti lahan dan air dilaksanakan seoptimal mungkin, di samping  mencegah terjadinya benturan berbagai kepentingan dalam pemanfaatan ruang. Penataan pertanahan merupakan pendukung pelaksanaan rencana pemanfaatan ruang yang dijabarkan dalam rencana tata guna tanah.
II. Dasar Hak Menguasai Negara Atas Tanah
Pembukaan UUD 1945 alenia ke-4, yang intinya adalah Negara melalui Pemerintah memiliki tanggung jawab sekaligus tugas utama melindungi “Tanah air Indonesia” yang meliputi bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. Hak menguasai Negara merupakan konsep Negara suatu organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat, sehingga kekuasaan berada ditangan Negara. Jadi Negara memiliki hak menguasai tanah melalui fungsi untuk mengatur dan mengurus.
Dalam tiap hukum tanah terdapat pengaturan mengenai berbagai  hak penguasaan atas tanah. Dalam UUPA misalnya diatur dan sekaligus ditetapkan tata jenjang atau hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional kita, Yaitu:
1)       Hak Bangsa Indonesia atas tanah. Hak ini merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan meliputi semua tanah yang ada dalam wilayah Negara, yang merupakan tanah bersama, bersifat abadi dan menjadi induk bagi hak-hak penguasaan yang lain atas tanah. pengaturan ini termuat dalam Pasal 1 ayat (1)-(3) UUPA. Hak Bangsa Indonesia atas tanah mempunyai sifat komunalistik, artinya semua tanah yang ada dalam wilayah NKRI merupakan tanah bersama rakyat Indonesia, yang telah bersatu sebagai Bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1) UUPA). selain itu juga mempunyai sifat religius, artinya seluruh tanah yang ada dalam wilayah NKRI merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa (Pasal 1 ayat (2) UUPA). Hubungan antara Bangsa Indonesia dengan tanah bersifat abadi, atinya selama rakyat Indonesia masih bersatu sebagai Bangsa Indonesia dan selama tanah tersebut masih ada pula, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut (Pasal 1 ayat (3).
2)       Hak menguasai dari Negara atas Tanah. Hak ini bersumber pada hak bangsa Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenangan bangsa yang mengandung hukum publik. Tugas mengelola seluruh tanah bersama ini dikuasakan sepenuhnya kepada NKRI sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2 ayat (1) UUPA). Isi wewenang hak menguasai dari Negara Atas Tanah sebagai mana dimuat di dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA adalah:
a)    mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah.
b)    menetukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah.
c)    menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai tanah.
3)       Hak Ulayat msayarakat Hukum Adat. Hak ini diatur dalam Pasal 3 UUPA. Yang dimaksud hak ulayat masyarakat hukum adat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dala lingkungan wilayahnya. Menurut Boedi Harsono, Hak ulayat masyarakat hukum adat dinyatakan masih apabila memenuhi 3 unsur, yaitu:
a)    masih adanya suatu kelompok orang sebagai warga suatu persekutuan hukum adapt tertentu, yang merupakan suatu masyarakat hukum adat.
b)    masih adanya wilayah yang merupakan ulayat masyarakat hukum adat tersebut, yang disadari sebagai kepunyaan bersama para warganya.
c)    masih ada penguasa adat yang pada kenyataannya dandiakui oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, melakukan kegiatan sehari-hari sebagai pelaksana hak ulayat.
d)    Hak-hak atas tanah. Hak ini termasuk salah satu hak-hak perseorang atas tanah. Hak-hak perseorang atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya (perseorangan, sekelompok orang secara bersama-sama, badan hukum) untuk memakai, dala arti menguasai, menggunakan dan atau mengambil manfaat dari bidang tanah tertentu. Dasar hukumnya adalah Pasal 4 ayat (1) UUPA. Hak perseorangan atas tanah berupa hak atas tanah ( Pasal 16 dan 53 UUPA), wakaf tanah hak milik (Pasal 49 ayat (3) UUPA), hak tanggungan atau hak jaminan atas tanah (Pasal 25, 33, 39 dan 51 UUPA) dan hak milik atas satuan rumah susun (Pasal 4 ayat (1) UUPA).
Meskipun bermacam-macam, tetapi hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriterium atau tolak ukur pembeda diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah.
Pengertian Hak Menguasai Negara Atas Tanah menurut UUD 1945 adalah Negara memiliki kewenangan sebagai pengatur, perencana, pengelola sekalisus sebagai pengawas pengelolaan, penggunaan dan pemanfaatan SDA nasional. Maka Negara berkewajiban untuk :
a)       Segala bentuk pemanfaatan bumi dan air dan serta hasil yang didapat didalamnya [kekayaan alam], harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
b)       Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat didalam atau diatas bumi dan air yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat.
c)       Mencegah rakyat tidak mempunyai kesempatan atau kehilangan hak yang terdapat di dalam dan di atas bumi dan air.
Dan Negara Berhak untuk menguasai dan mengelola tanah. Rumusan  Pembatasan kekuasaan Negara atas tanah UUPA Pasal 2 ayat 2 :
a)       Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, persediaan dan pemeliharaan
b)       Menentukan hubungan hukum
c)       Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dan perbuatan hukum
III. Konsep Penggunaan Tanah
Seperti diketahui bersama bahwa hubungan manusia dengan tanah merupakan hubungan timbal balik dan abadi yang seharusnya bersifat mesra. Hubungan mesra ini akan terjalin saat sekarang dan yang akan datang bila kebijaksanaan penggunaan tanah saat kemarin sesuai dengan kualitas tanahnya. Oleh karena itu aspek informasi penggunaan tanah ini perlu dipertimbangkan sebagai prioritas utama dalam sistem informasi spasial kegiatan pembangunan, termasuk kegiatan penyusunan ketersediaan tanah.
Penggunaan tanah adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan bentukan alami maupun buatan manusia. Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa penyusunan peta penggunaan tanah, salah satunya bertujuan menggambarkan informasi jenis aktivitas sosial-ekonomi-budaya masyarakat di suatu wilayah, sehingga apabila kita mengkaji peta penggunaan tanah dari suatu wilayah, maka kita dapat menduga intensitas aktivitas utama masyarakat yang berkembang di wilayah tersebut. Artinya, pola penggunaan tanah di atas muka bumi mencerminkan tingkat dan orientasi kehidupan masyarakat di wilayah tersebut. Selain itu, diketahui pula bahwa pola penggunaan tanah pada hakekatnya merupakan hasil perpaduan antara faktor sejarah, faktor fisik, serta faktor sosial, budaya, dan ekonomi. Dinamika aktivitas masyarakat dapat dikaji dari perubahan pola penggunaan tanah yang terjadi.
IV.  Konsep Penguasaan Tanah
Secara konseptual, permasalahan pertanahan/agraria terdiri atas dua aspek utama yang berbeda, yaitu aspek penggunaan dan pemanfaatan tanah serta aspek penguasaan dan pemilikan tanah. Hal ini tampak secara tegas dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX Tahun 2001, tentang Reforma Agraria, dimana dalam Pasal 2 yang menyatakan bahwa: “Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria”. Aspek penguasaan dan pemilikan tanah berkaitan dengan  bagaimana relasi hukum antara manusia dengan tanah yang lebih berdimensi “stabilitas”, sedangkan aspek penggunaan dan pemanfaatan berkenaan dengan bagaimana tanah digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan yang lebih berdimensi “pertumbuhan”.
Diketahui setiap Negara mempunyai aturan tentang hak-hak penguasaan dan pemilikan tanah berdasarkan konsep dan teori hukum tertentu yang dimodifikasi sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi dan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada hakekatnya pengaturan hukum tentang hak-hak penguasaan atas tanah itu berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu dengan tanah yang sudah dihakinya. Di Indonesia, dalam prakteknya dan masih terjadi sampai saat ini dalam persepsi masyarakat, bahwa ada berbagai sumber hukum tentang penguasaan tanah ini, yaitu ada yang bersumber dari hukum adat, atau hukum barat, dan atau hukum nasional. Semua persepsi ini dapat terjadi karena belum seluruh tanah di persada Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dilakukan Pendaftaran Tanah yang legalistik berdasarkan hukum tanah nasional (UUPA No. 5 Tahun 1960).
Dengan demikian, dalam mengkaji kondisi suatu wilayah dari aspek pertanahan, bahwa selain memperhatikan aspek penggunaan tanah yang terbangun di atasnya, maka perlu juga diperhatikan aspek penguasaan tanah yang melekat dan ada di wilayah tersebut. Pada dasarnya penguasaan tanah  merupakan faktor kunci dalam perencanaan wilayah. Artinya, semakin baik data dan informasi tentang penguasaan tanah, maka akan semakin mempermudah proses perencanaan di suatu wilayah.

V. Konsep Dimensi Pertanahan
Dipahami sejak awal ditetapkannya UUPA, seperti tertuang dalam konsideran, bahwa hukum agraria harus merupakan pelaksanaan dari ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 yang mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong.  Konsideran UUPA tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 2 UUPA, yang menyatakan antara lain yaitu :
1)       Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
2)       Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk:
a)       mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,  persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b)       menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa,
c)       menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara  orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
3)       Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan  kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.
Oleh karena itu jelas dalam perumusan kebijakan pertanahan harus selalu terdapat dua dimensi yang saling berkaitan, yaitu dimensi penggunaan tanah dan dimensi penguasaan tanah. Adagium yang dapat dipegang adalah kedua dimensi tersebut hanya sekedar pembagian (division) tetapi bukan pemisahan (separation). Artinya, dalam melakukan penataan penggunaan tanah harus memperhatikan dimensi penguasaan tanah yang melekat, demikian pula sebaliknya dalam menetapkan hak atas tanah harus pula memperhatikan dimensi penggunaan (peruntukan) tanahnya. Dengan demikian berdasarkan informasi pola penguasaan tanah dan pola penggunaan tanah ini, maka dapat dirumuskan suatu kebijakan pertanahan yang lebih obyektif dalam rangka mendukung terwujudnya kemakmuran rakyat.
Dengan memperhatikan amanat tersebut di atas, maka dicoba disusun suatu “Dimensi Pertanahan” yang dapat menggambarkan kondisi penggunaan tanah dan penguasaan tanah yang ada pada saat sekarang. Untuk keperluan penyusunan Dimensi pertanahan ini dilakukan terlebih reklasifikasi baik terhadap data spasial penggunaan tanah maupun terhadap data spasial penguasaan tanah, sebagai berikut :
a)       Untuk jenis penggunaan tanah diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu jenis penggunaan tanah yang kemungkinannya dapat diubah dan jenis penggunaan tanah tidak dapat diubah. 
1)       Penggunaan tanah dapat diubah (D) meliputi :
·         Lapangan Olah Raga
·         Kuburan/Pemakaman
·         Industri Pengolahan Pertanian
·         Industri Non Pertanian
·         Tegalan/Ladang
·         Sayuran
·         Kebun Campuran
·         Perkebunan Besar
·         Perkebunan Rakyat
·         Padang Rumput/Sabana
·         Alang-alang
·         Semak
·         Hutan Belukar
·         Kolam Air Tawar
·         Tambak
·         Penggaraman
·         Rawa
·         Tanah Tandus
·         Tanah Rusak
·         Tanah Terbuka Sementara
2)        Penggunaan tanah tidak dapat diubah (T), meliputi :
·         Kampung
·         Perumahan
·         Emplasemen
·         Pertambangan
·         Sawah Irigasi 1x padi/th
·         Sawah Irigasi 2x padi/th
·         Sawah Tadah Hujan
·         Hutan Lebat
·         Hutan Sejenis
·         Waduk
·         Sungai/Danau/Situ/Telaga
b)       Untuk jenis penguasaan tanah diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu jenis penguasaan tanah yang kemungkinannya dapat dibebaskan (menjadi Tanah Negara) dan jenis penguasaan tanah tidak dapat dibebaskan.
1)       Penguasaan Tanah dapat dibebaskan (D), meliputi :
·         Hak Guna Usaha
·         Hak Guna Bangunan/Hak Pakai
·         Tanah Negara bebas
2)       Penguasaan Tanah tidak dapat dibebaskan (T), meliputi :
·         Tanah Milik Adat/Ulayat/UUPA
·         Tanah Negara Dikuasai
·         Sungai/Danau/Situ/Telaga/Waduk
Berdasarkan kombinasi kedua dimensi tersebut, maka akan diperoleh kategori ketersediaan tanah atau tanah yang dapat diubah dari segi pertanahan, dengan kriteria yaitu jenis penggunaan tanahnya dapat diubah dan jenis penguasaan tanahnya dapat dibebaskan. Sedangkan sisa kombinasi lainnya dinyatakan sebagai tanah Tidak dapat diubah dari segi pertanahan”.


VI. Upaya Pemerintah Dalam Mewujudkan Penguasaan Tanah Untuk Kemakmuran Rakyat
Tanah yang dikelola demi kemakmuran rakyat belum sepenuhnya tercapai. Pengelolaan sumber daya agraria/pertanahan selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) serta menimbulkan berbagai konflik hampir di seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena itu, dengan dilandasi semangat reformasi, pada tahun 2001 MPR RI mengeluarkan Ketetapan Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, arah kebijakan pembaruan agraria yang diatur antara lain:
a)       Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor.
b)       Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat.
c)       Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform.
d)       Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria, sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang.
e)       Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka  mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang terjadi.
f)        Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumber daya agraria.
Tertulis di  penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 11 tahun 2010 tentang Tanah: Tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi rakyat, bangsa dan Negara Indonesia, yang harus diusahakan, dimanfaatkan, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Saat ini tanah yang telah dikuasai dan/atau dimiliki baik yang sudah ada hak atas tanahnya maupun yang baru berdasar perolehan tanah di beberapa tempat masih banyak dalam keadaan terlantar, sehingga cita-cita luhur untuk meningkatkan kemakmuran rakyat tidak optimal.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut perlu dilakukan penataan kembali untuk mewujudkan tanah sebagai sumber kesejahteraan rakyat, untuk mewujudkan kehidupan yang lebih berkeadilan, menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan dan kebangsaan Indonesia, serta memperkuat harmoni sosial. Selain itu, optimalisasi pengusahaan, penggunaan, dan pemanfaatan semua tanah di wilayah Indonesia diperlukan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup, mengurangi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja, serta untuk meningkatkan ketahanan pangan dan energi. Untuk mewujudkan tanah sebagai sumber kemakmuran rakyat juga terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi. Permasalahan tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini berikut solusi yang dapat dilakukan oleh pemerintah.
No
Permasalahan
Langkah Penyelesaian
1
Terdapat banyak peraturan, tidak sinkron dan tidak harmonis;
Sinkronisasi dan Harmonisasi Peraturan Perundangan di Bidang Pertanahan
2
Ketidakjelasan tata ruang wilayah karena peta-peta yang berbeda-beda;
Penerapan One Map Policy  dan pengaturan tata ruang yang harmonis, adil dan berkelanjutan;
3
Ketentuan yang ada dalam UUPA masih kurang lengkap dan sebagian kurang jelas seperti pengaturan hak komunal, hak ruang atas dan bawah tanah dan hak atas tanah di perairan;
Penyempurnaan UUPA: a.Memperjelas beberapa ketentuan yang masih rancu;b.Menambah ketentuan baru yang belum diatur seperti pengakuan hak komunal yang lengkap dan sederhana, hak ruang atas dan bawah tanah, sistem pendaftaran yang menuju stelsel positif.
4
 Masih banyak tanah yang belum terdaftar;
Percepatan pendaftaran tanah
5
Ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia
Pembatasan penguasaan tanah dan melaksanakan redistribusi tanah yang adil
6
Adanya perbedaan pemahaman antar pejabat negara mengenai tanah dan tata ruang;
Perlu menyamakan persepsi antara para pejabat negara mengenai Hukum tanah dan tata ruang;
7
Banyak tanah yang sudah diberikan Hak Guna Usaha akan tetapi diterlantarkan.
Penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar

Penelantaran tanah di pedesaan dan perkotaan, selain merupakan tindakan yang tidak bijaksana, tidak ekonomis (hilangnya peluang untuk mewujudnyatakan potensi ekonomi tanah), dan tidak berkeadilan, serta juga merupakan pelanggaran terhadap kewajiban yang harus dijalankan para Pemegang Hak atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah. Penelantaran tanah juga berdampak pada terhambatnya pencapaian berbagai tujuan program pembangunan, rentannya ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional, tertutupnya akses sosial-ekonomi masyarakat khususnya petani pada tanah, serta terusiknya rasa keadilan dan harmoni sosial.
Negara memberikan hak atas tanah atau Hak Pengelolaan kepada Pemegang Hak untuk diusahakan, dipergunakan, dan dimanfaatkan serta dipelihara dengan baik selain untuk kesejahteraan bagi Pemegang Haknya juga harus ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara. Ketika Negara memberikan hak kepada orang atau badan hukum selalu diiringi kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan surat keputusan pemberian haknya. Karena itu Pemegang Hak dilarang menelantarkan tanahnya, dan jika Pemegang Hak menelantarkan tanahnya, Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria telah mengatur akibat hukumnya yaitu hapusnya hak atas tanah yang bersangkutan dan pemutusan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
Bagi tanah yang belum ada hak atas tanahnya, tetapi ada dasar penguasaannya, penggunaan atas tanah tersebut harus dilandasi dengan sesuatu hak atas tanah sesuai Pasal 4 juncto Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dengan demikian orang atau badan hukum yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah, baik dengan pengadaan tanah itu dari hak orang lain, memperoleh penunjukan dari pemegang Hak Pengelolaan, karena memperoleh izin lokasi, atau memperoleh keputusan pelepasan kawasan hutan berkewajiban memelihara tanahnya, mengusahakannya dengan baik, tidak menelantarkannya, serta mengajukan permohonan untuk mendapatkan hak atas tanah. Meskipun yang bersangkutan belum mendapat hak atas tanah, apabila menelantarkan tanahnya maka hubungan hukum yang bersangkutan dengan tanahnya akan dihapuskan dan ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, oleh karena itu penelantaran tanah harus dicegah dan ditertibkan untuk mengurangi atau menghapus dampak negatifnya. Dengan demikian pencegahan, penertiban, dan pendayagunaan tanah terlantar merupakan langkah dan prasyarat penting untuk menjalankan program-program pembangunan nasional, terutama di bidang agraria yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.
VII. Kesimpulan
Tanah merupakan unsur vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanah adalah perekat seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 telah merumuskan cita-cita NKRI yaitu “mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.  Amanat yang terdapat dalam Pembukaan UUD Tahun 1945 ini, kemudian dijabarkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Amanat konstitusi ini, kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Untuk mewujudkan tanah sebagai sumber kemakmuran rakyat maka perlu dilakukan penataan kembali untuk mewujudkan tanah sebagai sumber kesejahteraan rakyat, untuk mewujudkan kehidupan yang lebih berkeadilan, menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan dan kebangsaan Indonesia, serta memperkuat harmoni sosial. Selain itu, optimalisasi pengusahaan, penggunaan, dan pemanfaatan semua tanah di wilayah Indonesia diperlukan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup, mengurangi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja, serta untuk meningkatkan ketahanan pangan dan energi.








DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1996. Dit Pengaturan Penguasaan Tanah, Tata Cara Kerja
Proyek Pengembangan Penguasaan Tanah, Jakarta.
Chuleemi, Achmad. Hukum Agraria Perkembangan Macam-macam Hak
Atas Tanah dan Pemindahannya, FH. Undip, Semarang.
Cohen, 1978. Agrarian Structures and Agrarian Reform, Leiden.
Gautama, Soedarto. 1993. Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria
(Memori Penjelasan di bawah 11) Dasar-dasar dari Hukum
Agraria Nasional “Sub 3”), Citra Aditya Bakti, Bandung.
Harsono, Boedi. 2008. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Santoso, Urip. Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah. Jakarta: Prenada Media Group.
Kertasapoetra, dkk, 1984. Hukum Tanah Jaminan UUPA bagi
Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, Bina Aksara, Jakarta.
Mustafa, 1988. Hukum Agraria dalam Perspektif, Remaja Karya, Bandung.
Muchsin dkk. 2007. Hukum Agraria Indonesia. Bandung: Refika Aditama
Parangin, Efendy. 1986. Hukum Agraria di Indonesia. Suatu Telaah dari
Sudut Pandang Praktisi Hukum, Rajawali, Jakarta.


Comments

Popular posts from this blog

Hutan Pantai , Ekologi, dan Fungsinya

Efek Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Peningkatan Suhu dan Albedo Di Jakarta Selatan

Teknologi GPS Dan Fishfinder Untuk Nelayan Modern