Sumbangan Pemikiran Geografi Dalam Terjadinya Kekeringan Panjang

Sebagai sebuah ilmu, geografi mempelajari interaksi dari beberapa fenomena geosfer di alam ini. Hasil interaksi dari fenomena geosfer yang meliputi atmosfer, litosfer, hidrosfer, dan biosfer secara kontinyu menghasilkan variasi bentanglahan. Variasi bentanglahan ini telah lama dipelajari dan digunakan oleh para ahli - ahli geografi untuk mengungkap kejadian - kejadian alam. Studi ekologi bentanglahan mencakup studi tentang fenomena dan proses dalam suatu bentanglahan dalam ruang dan waktu yang mencakup komunitas tumbuhan, hewan, dan manusia. Persepsi tentang bentanglahan mempunyai arti yang berbeda tergantung pada latar belakang dan sudut pandang ketertarikan keahlian seseorang. Keberadaan bentanglahan akan berbeda dari satu wilayah terhadap wilayah lainnya dan hal ini akan mempengaruhi potensi sumberdaya dan lingkungan tempat kejadiannya.
Kekeringan merupakan gambaran normal tentang iklim dan kejadiannya tidak dapat dihindari. Kekeringan selain disebabkan faktor alamiah (hujan, dan kondisi alami lahan) juga diakibatkan oleh adanya perubahan penggunaan lahan dan pemanfaatan teknologi yang kurang tepat. Kerusakan lingkungan (kekeringan) yang diakibatkan oleh kedua hal tersebut dikarenakan adanya upaya menaikkan daya dukung lingkungan dengan menaikkan luas lahan yang digunakan untuk pembukaan lahan pertanian yang merupakan reaksi terhadap kenaikan kepadatan penduduk yang sangat umum terjadi. Chow, 1964, mendefinisikan kekeringan sebagai berkurangnya curah hujan yang cukup besar dan berlangsung lama yang dapat mempengaruhi kehidupan tanaman dan hewan pada suatu daerah dan akan menyebabkan berkurangnya cadangan air untuk keperluan hidup sehari-hari maupun untuk kebutuhan tanaman. Gonzales, et.al, 2003 mendefinisikan bahwa pada dasarnya kerentanan kekeringan di suatu daerah meliput tiga hal yaitu:
  1. kerentanan kekeringan secara meterologis (meterological drought);
  2. kerentanan kekeringan hidrologis (hydrological drought) dalam kaitannya dengan ketersediaan air tanah permukaan (surface water) dan airtanah dalam (ground water);
  3.  kerentanan kekeringan pertanian (agriculture drought).
Di sebagian besar wilayah Indonesia kekeringan meteorologi (meterological drought) ditandai dengan menurunnya jumlah curah hujan pada bulan Maret hingga Oktober. Selanjutnya kekeringan ini berkembang menjadi kekeringan hidrologis (hydrological drought) yang ditandai dengan menurunnya debit sungai, menurunnya permukaan air danau, waduk, telaga dan bahkan mengeringnya sejumlah mataair. Bila musim kemarau berlangsung lebih lama maka akan mengganggu kegiatan pertanian yang ditunjukkan oleh adanya penurunan lengas tanah (soil moisture) dan rekahan-rekahan tanah yang menyebabkan kekeringan pertanian(agriculture drought).
Pada umumnya kekeringan dapat terjadi akibat faktor meteorologi maupun faktor lahan. Kekeringan meteorologi lebih sering terjadi dibanding dengan kekeringan lahan. Penelitian mengenai kekeringan lahan terhitung masih sedikit di Indonesia. Kekeringan lahan terjadi akibat pengaruh faktor - faktor fisik seperti topografi dan batuan yang tidak menyerap air (Suyono, 2007). Pendekatan lahan yang digunakan dalam penelitian geografi dapat dilakukan dengan mencermati faktor kemiringan lereng, bentuklahan, geologi (batuan), jenis tanah, hidrologi, dan vegetasi penutup.
Perkembangan teknik pengolahan citra satelit terutama teknik penyadapan informasi saat ini sangat maju, terutama didukung dengan kemajuan teknologi komputer. Perubahan tingkat kehijauan vegetasi dan kondisi kelengasan tanah yang bervariasi akan mengakibatkan terjadinya respon spektral yang spesifik. Ada beberapa transformasi yang dikembangkan dalam pengolahan data digital citra penginderaan jauh untuk menyadap informasi perubahan tingkat kehijauan vegetasi dan kelengasan tanah. Berdasarkan hubungan kausal antara perubahan tingkat kehijauan vegetasi dan kelengasan tanah dengan kekeringan di atas, maka distribusi daerah rentan kekeringan dapat didekati dengan penyadapan informasi perubahan tingkat kehijauan vegetasi dan kelengasan tanah melalui transformasi matematis data digital citra penginderaan jauh yang sesuai. Selain itu data penginderaan jauh memiliki kelebihan dalam hal waktu pengamatan yang real time dan kecilnya human error dibandingkan data pengamatan langsung di lapangan. Dalam terapannya secara operasional penggunaan data penginderaan jauh juga memiliki kelebihan antara lain memberikan data spesifik yang terkadang tidak dapat diberikan dari sumber data lainnya, pengumpulan data tanpa banyak kerja lapangan dengan hasil yang lebih cepat dan murah serta memungkinkan pengumpulan data pada medan yang tidak memungkinkan (Howard, 1991). Salah satu upaya yang dilakukan oleh beberapa peneliti untuk mengungkap masalah kekeringan dengan deteksi dini dan pemantauan kekeringan dengan teknologi penginderaan jauh telah banyak dilakukan. Metode yang dikembangkan untuk keperluan ini diantaranya adalah dengan menggunakan nilai NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), TVDI (Temperature Vegetation Dryness Index), NDWI (Normalized Different Water Index), SAVI (Soil Adjusted Vegetaion Index), brightness index, dan greeness index. Penggunaan NDVI lebih memfokuskan pada nilai kerapatan vegetasi, TVDI lebih memfokuskan pada hubungan antara kerapatan vegetasi dengan temperatur permukaan, NDWI lebih menekankan pada keberadaan air pada tumbuhan, sedang SAVI lebih memfokuskan pada hubungan antara kerapatan vegetasi dengan sifat kelengasan tanah. Pada penelitiannya  Ghulam, et.al, 2007 mengemukakan pendapatnya tentang indeks kekeringan, VCADI (Vegetation Condition Albedo Drought Index) yang merupakan fungsi dari pola spektral kelengasan tanah dengan indeks vegetasi. Untuk keperluan kajian pada skala regional telah dikenal suatu citra satelit yang mempunyai kemampuan yang dapat diandalkan, yaitu citra MODIS. Citra MODIS merupakan citra satelit hiperspektral generasi baru yang digunakan untuk pengamatan daratan dan perairan. Informasi yang dapat dihasilkan dari pemanfaatan citra MODIS antara lain berupa identifikasi dan estimasi luas areal yang terkena dampak kekeringan yang sangat dibutuhkan untuk mengetahui secara pasti posisi/sebaran suatu daerah yang dapat diklasifikasikan dalam unit area, mengetahui sejauh mana potensi kekeringan suatu daerah secara spasial, mengetahui nilai proyeksi kekeringan daerah dan untuk perencanaan daerah khususnya dari sektor pertanian. Selain itu untuk zonasi kekeringan akan lebih tampak jelas apabila menggunakan pendekatan bentuk lahan yang dapat disadap dari citra SRTM (Shuttle Radar Topography Mission). SRTM merupakan proyek kerjasama antara National Imagery and Mapping Angency (NIMA) and NASA untuk pemetaan dunia dalam bentuk tiga dimensi. Selain itu SRTM juga digunakan untuk melengkapi data base digital topografi dengan resolusi tinggi dari permukaan bumi.Zonasi kekeringan yang terbentuk dari overlay data kekeringan dari citra MODIS dengan zonasi bentuk lahan dari citra SRTM akan menghasilkan kesan tiga dimensional yang akan memudahkan untuk keperluan analisis.
Kemajuan teknologi penginderaan jauh dapat mempermudah penelitian yang dilakukan dengan cakupan yang luas. Kemudahan tersebut salah satunya diperoleh dari Citra Landsat 8 / LDCM (Landsat Data Continuity Mission) yang relatif masih baru. Keunggulan Landsat 8 dapat dimanfaatkan untuk berbagai kajian dan aplikasi, salah satunya untuk kajian kekeringan. Citra Landsat 8 tersedia secara multitemporal, sehingga memungkinkan dilakukan analisis dengan waktu berurutan. Parameter fisik yang berpengaruh terhadap kerawanan kekeringan dapat diekstrak dari citra Landsat 8 tersebut. Informasi faktor – faktor lahan dapat diturunkan dari citra tersebut. Untuk memudahkan dalam pengolahan data, manipulasi dan analisis data, dan penayangan data diperlukan suatu sistem yang handal, yaitu sistem informasi geografis (SIG) yang merupakan suatu sistem yang terpadu antara manusia, mesin dan prosedur untuk mengorganisasi suatu proses dan kontrol terhadap masukan yang menghasilkan luaran. Data masukan pada sistem infprmasi geografis adalah berupa data keruangan yang bereferensi geografis. SIG (Sistem Informasi Geografis) memberikan kemudahan untuk pemrosesan dan analisis data spasial dalam upaya estimasi daerah rawan banjir. Integrasi citra satelit MODIS dengan SIG mampu menentukan di mana daerah rawan genangan banjir dan rawan kekeringan, bahkan daerah rawan penyakit yang terkait dengan kesehatan lingkungan. Dengan melakukan integrasi antara dua teknologi, yaitu Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis maka pembuatan peta yang meliputi input data, klasifikasi data, tumpang susun peta (overlay), manipulasi dan analisis data serta presentasi data dapat dilakukan dengan mudah dan cepat apabila ada kekurangan dan kesalahan dapat ditambah dan diperbaiki dengan cepat, sehingga dapat menghemat waktu dan tenaga serta biaya.

Comments

Popular posts from this blog

Hutan Pantai , Ekologi, dan Fungsinya

Efek Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Peningkatan Suhu dan Albedo Di Jakarta Selatan

Teknologi GPS Dan Fishfinder Untuk Nelayan Modern