Sejarah Tanah Partikelir di Probolinggo
Sejarah Tanah
Partikelir di Probolinggo
I.Pendahuluan
Tanah
partikelir adalah tanah eigendom, yang mempunyai sifat dan corak yang istimewa[1].
Pada awal mulanya (sebelum diadakan pengambilan tanah-tanah itu kepada Negara)
luasnya sampai sejumlah 1.150.000 ha, terutama terletak di Jawa Barat. Yang
membedakan tanah partikelir dari tanah eigendom lainnya, ialah adanya hak-hak
pada pemiliknya, yang bersifat hak-hak kenegaraan, sebagian misalnya hak untuk
mengangkat/memberhentikan kepala-kepala kampung/desa/umum yang diberi kekuasaan
dan kewajiban kepolisian, hak menuntut kerja paksa (rodi) atau uang pengganti
rodi dari penduduk yang berdiam di tanah-tanah itu dan untuk mengadakan pemungutan-pemungutan,
baik berupa uang maupun hasil tanah, dari penduduk yang mempunyai "hak
usaha". Hak-hak demikian itu dahulu disebut "landheerlijke
rechten" dan di dalam Undang-undang ini disebut "hak-hak
pertuanan". Di dalam ketatanegaraan yang modern hak-hak pertuanan itu
tidak boleh tidak haruslah hanya ada pada Pemerintah (Negara). Hak-hak
pertuanan itu adal yang sudah diatur dengan peraturan Undang-undang misalnya
yang mengenai tanah-tanah partikelir disebelah Barat Cimanuk dengan Ordonansi
tanggal 3 Agustus 1912 (S. 1912 - 422). Di tanah-tanah partikelir lainnya
hak-hak itu didasarkan pada adat setempat. Lembaga tanah partikelir yang
memberikan hak-hak istimewa kepada para pemiliknya ("tuan-tuan
tanah") sebagai yang diuraikan di atas itu, seakan-akan menimbulkan
negara-negara kecil di dalam Negara kita dan benar-benar tidak sesuai lagi
dengan sifat dan azas-azas Negara kita sebagai negara modern. Lagi pula
tanah-tanah partikelir itu ternyata selalu merupakan sumber kesulitan,
kegaduhan dan sumber dari pada keadaan-keadaan yang buruk, disebabkan terutama
karena kurangnya perhatian tuan-tuan tanah terhadap penduduk juga terhadap
usaha-usaha pembangunan, yang tidak langsung membawa keuntungan baginya.
Keadaan penghidupan penduduk yang menyedihkan itu disebabkan pula, karena di
dalam segala hal tuan-tuan tanah itu selalu berada dalam kedudukan yang kuat.
Sikap tuan-tuan tanah di dalam menggunakan hak-hak dan tanahnya, yang
menyebabkan terhambatnya kemajuan penduduk, terang tidak membawa faedah bagi
masyarakat, hal mana sudah barang tentu bertentangan dengan azas keadaan sosial
yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan Negara. Mengingat akan hal-hal di
atas itu maka sudahlah seharusnya, bahwa untuk kepentingan umum tanah-tanah
partikelir, yang kini masih ada di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan
Sulawesi dihapuskan di dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
II. Sejarah Tanah
partikelir
II.1 Awal
Pengangkatan Herman Willem Daendels (1808 – 1811)
Menjelang
berakhirnya kekusaan VOC di Indonesia, di Belanda telah terjadi pengaruh
politik sebagai akibat pengaruh Revolusi perancis. Dalam Revolusi tersebut
keuasaan Raja Willem V jatuh. Di Belanda selanjutnya berdiri republik Betaaf
yang kemudian membubarkan VOC. Namun sebelum berkuasa di Indonesia, Republik
Betaaf telah terlebih dahulu bubar. Belanda kembali menjadi kerajaan di bawah
pengaruh Perancis pada tahun 1806.
Sejak Belanda dikuasai oleh Prancis maka
kaisar Napoleon mengangkat adiknya Louis Napoleon menjadi penguasa di negeri
Belanda. Louis Napoleon khawatir atas keberadaan Pulau Jawa yang merupakan
jantung jajahan Belanda di Indonesia jatuh ke tangan Inggris. Oleh karena itu
Louis Napoleon kemudian mengirimkan Herman Willem Daendels sebagai gubernur
jenderal di Indonesia dengan tugas utama mempertahankan jawa dari ancaman
Inggris. dan Daendels juga di tugaskan untuk mengatur pemerintahan di
Indonesia. Tanggal 1 Januari 1808 bersama ajudannya mendarat di Banten. Pada
tanggal 15 Januari 1808, Gubernur Jenderal Wiese menyerahkan keuasaannya kepada
Daendels dengan tugas utama yaitu:
1)
Mempertahankan pulau
Jawa agar tidak jatuh ke tangan Inggris
2)
Memperbaiki keadaan
tanah jajahan di Indonesia
Kebijakan
Pemerintah Herman Willem Daendels
Kebijakan
yang diambil Daendels sangat berkaitan dengan tugas utamanya yaitu untuk mempertahankan
Pulau Jawa dari serangan pasukan Inggris. Dan pada umumnya usaha – usaha
Daendels dalam menjalankan program – programnya adalah dalam bidang pertanahan
kemiliteran. Dalam upaya mempertahankan Pulau Jawa, Daendels melakukan hal-hal
berikut:
1)
Membangun
ketentaraan, pendirian tangsi-tangsi/ benteng, pabrik mesiu/senjata di Semarang
dan Surabaya serta rumah sakit tentara.
2)
Membuat jalan pos
dari Anyer sampai Panarukan dengan panjang sekitar 1.000 km.
3)
Membangun pelabuhan
di Anyer dan Ujung Kulon untuk kepentingan perang.
4)
Memberlakukan kerja
rodi atau kerja paksa untuk membangun pangkalan tentara.
Langkah
– Langkah Herman Willem Daendels dalam Membiayai Program – Programnya. Usaha
yang dilakukan oleh Daendels membutuhkan banyak biaya untuk menunjang jalannya
program – program yang di jalankan Daendels, sehingga Daendels menempuh
jalan sebagai berikut:
1)
Melaksanakan
Contingenten yaitu keharusan bagi rakyat untuk menyerahkan pajak berupa hasil
bumi
2)
Melaksanakan
Verplichte Leverantie yaitu keharusan bagi rakyat untuk menjual paksa hasil
bumi kepada pemerintah dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah.
3)
Penjualan tanah
kepada orang-orang partikelir (orang Belanda atau Cina, sehingga lahirlah
tanah-tanah milik swasta (particuliere landerijen).
4)
Melaksanakan Preanger
Stelsel yaitu keharusan bagi rakyat Priangan untuk menanam kopi dan perluasan
tanaman kopi karena hasilnya menguntungkan.
II.2 Masalah Tanah
pada Masa Herman Willem Daendels
Pada
masa pemerintahan Daendels dikeluarkan
suatu kebijakan yang benar – benar langsung menyangkut penguasaan atas tanah oleh bangsa lain di
bumi Indonesia. Politik yang dijalankan, berkaitan dengan pertanahan adalah
menjual tanah – tanah kepada pemilik modal besar terutama kepada orang cina,
Arab maupun bangsa Belanda sendiri. Tanah – tanah yang dijual ini dikenal
dengan nama tanah partikelir[2] Tanah partikelir adalah tanah eigendom yang
mempunyai sifat dan corak istimewa. Yang membedakan dengan tanah eigendom
lainnya adalah adanya hak-hak pada pemiliknya yang bersifat kenegaraan yang
disebut landheerlijke rechten atau hak pertuanan. Hak Pertuanan misalnya:
·
Hak untuk mengangkat
atau mengesahkan pemilikan serta memberhentikan kepala-kepala kampung/desa;
·
Hak untuk menuntut
kerja paksa (rodi) atau memungut uang pengganti kerja paksa dari penduduk;
·
Hak untuk mengadakan
pungutan-pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk;
·
Hak untuk mendirikan
pasar-pasar;
·
Hak untuk memungut
biaya pemakaian jalan dan penyebrangan;
·
Hak untuk
mengharuskan penduduk tiga hari sekali memotong rumput bagi keperluan tuan
tanah, sehari dalam seminggu untuk menjaga rumah atau gudang-gudangnya dan
sebagainya.
II.3 Penjualan Tanah
Partikelir pada Masa Herman Willem Daendels
Tanah
partikelir (Particuliere Landerijen) timbul sejak munculnya VOC hingga
seperempat pertama abad ke 19. Munculnya tanah partikelir berkaitan dengan
praktek penjualan atau penyewaan tanah yang dilakukan oleh orang – orang
Belanda dan pemilik tanah jabatan (apanage) kepada masyarakat swasta
(partikelir). Mereka menjual atau
menyewa tanahnya karena kekurangan uang. Tanah partikelir tersebar di daerah
pedalaman antara lain di Batavia dan Bogor, Banten, Karawang, Cirebon,
semarang, Blora, Lasem, Tuban, dan Surabaya.
Para
pemilik tanah partikelir biasa disebut sebagai tuan tanah. Mereka adalah orang
– orang kaya yang berusaha mencari keuntungan sebesar – besarnya di tanah
jajahan. Sejak masa pemerintahan VOC, Daendels dan Raffles, para tuan tanah non
pribumi itu terdiri dari orang – orang Belanda, Cina dan Arab. Para tuan tanah
partikelir memiliki kedudukan dan kekuasaan seperti kepala desa atau bupati.
Hal ini disebabkan apabila mereka membeli atau menyewa tanah yang luas
(misalnya, berupa desa), mereka tidak saja memiliki tanahnya, melainkan dengan
segenap penduduk yang tinggal di tanah tersebut. Oleh karena itu penduduk di
tanah partikelir harus tunduk dan patuh kepada aturan – aturan yang di
berlakukan para tuan tanah. Aturan – aturan yang di tentukan oleh para tuan
tanah yaitu:
1)
Menarik hasil panen
secara langsung (biasanya 10 % dari hasil panen)
2)
Menarik uang sewa
rumah, bengkel dan warung serta
3)
Menggerahkan penduduk
untuk bekerja rodi
Selain
itu para tuan tanah juga mengangkat pegawai admiistrasi, pengawas, dan pemungut
pajak. Tujuan pengangkatan itu untuk mengeksplorasi kekayaan yang terdapat pada
tanah partikelir tersebut. Maka mengusahakan berbgai tanaman yang berkualitas
ekspor seperti kopi, teh, cokelat, tebu, kayu, lada dan indigo. Dengan kondisi
seperti ini, kehidupan di tanah partikelir tidak berbeda dengan penerapan
perbudakan terhadap rakyat desa dan bupati bukan menjadi pelindung dan pengayom
rakyat, melainkan mereka sudah menjadi pegawai tuan tanah yang memeras penduduk
secara habis – habisan. mereka tidak sadar telah menjadi alat bagi bangsa
asing.
Kegiatan
tanah partikelir semula memang menguntungkan bagi kaum tuan tanah, penguasa
pribumi, dan pemerintah colonial. akan tetapi, lambat laun pemerintah kolonial
Belanda merasakan kerugian semenjak kepemilikan tanah partikelir semakin
meluas, di tambah lagi hasil – hasil produksi desa dan tenaga kerja banyak yang
jatuh ke tangan tuan tanah sehingga pemasukan kas pemerintah menjadi berkurang.
Ketika pemerintah kolnial belanda di bawah kepemimpinan Van der Capellen,
sistem penjualan dan penyewaan tanah partikelir di larang dan mulai berlaku
sejak tahun 1817.
III. Usaha
pengambilan tanah-tanah partikelir menjadi tanah Negara.
Pertimbangan-pertimbangan
itulah pula, yang mendorong pemerintah Belanda untuk secara insidentel
mengadakan pembelian kembali dan mencantumkan di dalam ayat 1 pasal 62 Regering
reglement (S. 1855-2) larangan bagi para Gubernur Jenderal untuk menjual
tanah-tanah yang luas kepada perseorangan. Di samping itu diadakan juga
usaha-usaha untuk sekedar memperkecil kemungkinan itmbulnya keadaan-keadaan yang
menyedihkan sebagai yang diuraikan di atas, dengan mengeluarkan peraturan
tentang tanah-tanah partikelir di sebelah Barat Cimanuk pada tahun 1836,
peraturan mana dengan S. 1912 - 422 diganti dengan peraturan baru, yang masih
berlaku hingga sekarang. Di dalam peraturan itu diadakan ketentuan-ketentuan
tentang hak, kekuasaan dan kewajiban tuan-tuan tanah di dalam hubungannya
dengan Negara dan penduduk. Demikian juga mengenai tanah-tanah partikelir di
Sulawesi ada beberapa ketentuan dalam Bijblad 3909. Mengenai tanah-tanah
lainnya, yaitu yang terletak di sebelah Timur Cimanuk, tidak ada peraturan
umumnya karena keadaannya berlainan dari pada tanah-tanah partikelir di sebelah
Barat Cimanuk dan keadaan masing-masing pun berbeda satu dengan yang lain.
Demikianlah maka di tanah-tanah partikelir tersebut hingga kini segala
sesuatunya masih diatur menurut adat setempat. Hanya mengenai hubungan
tuan-tuan tanah dan penduduk dengan Pemerintah, dalam S. 1880 - 150 diadakan
peraturan sekedarnya.
Biarpun
sejak 1810 telah terjadi pembelian kembali, lagi ada sejak 1855 sebagaimana
tersebut di atas telah ada penentuan tidak akan menimbulkan tanah-tanah
partikelir baru lagi, akan tetapi barulah sejak 1910, atas desakan baik dari
kalangan-kalangan di luar maupun di dalam Parlemen Belanda, dilaksanakan usaha
pengembalian itu secara teratur. Berturut-turut dikeluarkanlah Wet tanggal 27
Nopember 1910 (S. 1911 - 38), Koninklijk Besluit tanggal 12 Agustus 1912 No. 54
(S 1912 - 480) dan Koninklijk Besluit tanggal 12 Agustus 1912 No. 55 (S. 1912 -
481), yang memberikan ketentuan-ketentuan khusus tentang cara pengembalian
tanah-tanah partikelir menjadi tanah Negara, di dalam hal uaha pembelian secara
damai tidak berhasil. Berangsur-angsur telah banyak tanah-tanah partikelir yang
dapat dibeli kembali; diantara tahun 1912 dan 1931 saja ada seluas 456.709
Hektar. Berhubung dengan adanya penghematan, di antara 1931 dan 1936 tidak
diadakan pembelian lagi.
Pada
tahun 1935 didirikanlah sebagai usaha darurat: N.V. Javansche Particuliere
Landerijen Maatschappij, yang semua saha-sahamnya ada ditangan Pemerintah
Maatschappij tersebut mendapat tugas untuk mengusahakan pembelian kembali dan
menguasai serta mengurus tanah-tanah partikelir yang telah dibelinya itu,
selama Pemerintah belum dapat mengopernya sendiri. Diantara tahun 1936 - 1941
sudah dibeli dan diurus oleh Maatschappij itu: 13 tanah-tanah partikelir seluas
80.713 hektare. Tetapi oleh karena tanah-tanah itu selama belum dibeli oleh
Pemerintah masih tetap berstatus tanah partikelir, maka bagi penduduk tidaklah
terasa adanya perubahan yang berarti. Dalam tahun 1949 tanah-tanah N.V. itu
dibeli oleh Pemerintah dan pada tanggal 13 Desember 1951 N.V. Javasche
Particuliere Landerijen Maatschappij, itu dibubarkan.
Selama
pemerintah pendudukan Jepang tidak terjadi pembelian kembali. Adapun
tanah-tanah partikelir itu diurus oleh Kantor yang dinamakan "Siriyocti
Kanrikoosya" (Undang-undang Balatentara Dai Nippon tanggal 1 bulan 6 tahun
Syoowa 17 (2602) jo Osamu Serei No. 2 tanggal 30 bulan 1 tahun Syoowa 18
(2603).
Sesudah
pendudukan Jepang maka oleh Pemerintah Hindia Belanda usaha pembelian itu
dimulai lagi. Terutama terdorong oleh keadaan politik dan perkembangan
masyarakat pada waktu itu, usaha diselenggarakan secara besar-besaran. Dalam
tahun 1948 dibentuklah sebuah Panitia yang diberi tugas untuk di dalam waktu
yang singkat, mengajukan usul-usul kepada Pemerintah tentang cara yang
sebaik-baiknya untuk menglikuidasi tanah-tanah partikelir yang masih ada.
Berdasar atas usul Panitia itu oleh Pemerintah dengan keputusannya tanggal 8
April 1949 No. 1 ditetapkan suatu peraturan likuidasi, atas dasar mana dengan
secara damai dapat dikembalikan kepada Negara 48 tanah partikelir seluas
469.506 ha, semuanya terletak di sebelah Barat Cimanuk.
Dalam
pada itu sebelum diadakan usaha pembelian kembali secara besar-besaran,
mengingat akan suasana politik dan keadaan keamanan pada waktu itu, telah
dikeluarkan Verordening CCO-Amacab Jawa dan Madura tanggal 8 Nopember 1946 No.
XXIX, yang menentukan, bahwa penggunaan hak-hak pemilik tanah-tanah partikelir
untuk sementara hanya diperbolehkan dengan izin istimewa. Peraturan tersebut
memuat larangan exploitasi tanah-tanah partikelir tanpa izin Residen. Di dalam
prakteknya hal itu berarti pembekuan hak-hak pertuanan, oleh karena izin itu hanya
boleh diberikan untuk mengusahakan kembali bagian-bagian tanah kongsi yang
merupakan perkebunan. (Tanah kongsi adalah bagian-bagian tanah partikelir yang
bukan tanah usaha). Dengan demikian maka hingga kini tidaklah lagi ada pemilik
tanah partikelir yang menerima hasil dari hak-hak pertuanannya.
Pada
waktu pemulihan kedaulatan di Jawa masih ada sisa tanah-tanah partikelir
sebagai berikut:
·
33 tanah agraris
(pertanian) dengan luas 21.798 ha.
·
109 tanah dalam kota dengan
luas 7.125 ha.
·
Di Sulawesi ada kira-kira
50 tanah partikelir seluas 2.500 ha.
Pemerintah
Republik Indonesia Serikat dan kemudian Pemerintah Negara Kesatuan Republik
Indonesia bukan saja melanjutkan pembelian kembali tanah-tanah partikelir, akan
tetapi sebagai Pemerintah nasional lebih-lebih merasakan hal itu sebagai
kewajiban yang pokok dan utama. Demikianlah mula-mula disusun rencana pembelian
dengan jangka waktu 5 tahun. Akan tetapi berhubung dengan rupa-rupa kesulitan
mengenai keuangan Negara, rencana tersebut tidak dapat dilaksanakan sebagai
yang diharapkan. Hingga akhir tahun 1956 dapat dibeli kembali 25 tanah
partikelir yang luasnya berjumlah 11.759 ha. Pada saat ini di Jawa masih ada
sisa 117 tanah partikelir yang luasnya 17.164 ha. Diantara tanah-tanah itu ada
sebagian yang dimilik oleh daerah-daerah swatantra, yaitu:
·
3 bidang tanah di Kotapraja
Jakarta Raya , luasnya 1.360 ha.
·
1 bidang tanah di Kota
besar Semarang luasnya 355 ha.
·
7 bidang tanah di Kota
besar Surabaya 786 ha.
Kecuali
kesulitan mengenai keuangan, usaha penghapusan tanah-tanah partikelir itu
menjumpai kesukaran juga yang disebabkan oleh sikap tuan tanah, yang hanya mau
melepaskan tanahnya dengan harga yang jauh lebih tinggi dari pada yang
selayaknya sesuai dengan nilainya sebagai tanah partikelir. Berhubung dengan
itu maka usaha pembelian secara damai acap kali menemui jalan buntu. Di dalam
hal yang demikian itu bagi Pemerintah sesungguhnya masih terbuka kemungkinan
akan mempergunakan ketentuan-ketentuan dalam S. 1911 - 38 jo. S. 1912 - 48 dan
481 dan yang mengenai tanah-tanah partikelir di luar Jawa ketentuan-ketentuan
dalam "ontergeningsordonnantie" (S. 1920 - 574), sebagaimana misalnya
yang terjadi dalam tahun 1953 mengenai beberapa tanah partikelir di Jakarta, tersebut
dalam Undang-undang No. 6/1953. L.N. 1953 - 27. Akan tetapi acara pembelian
yang ditentukan dalam peraturan-peraturan tersebut tidak saja sulit, melainkan
juga memerlukan waktu yang tidak sedikit karena misalnya tiap-tiap kali
diperlukan suatu "nutsverklaring" dengan Undang-undang dan di samping
itu tetap harus ditempuh jalan perundingan antara Pemerintah dan pemilik. Jika
perundingan tersebut tidak mencapai hasil maka haruslah oleh Pemerintah
diajukan tuntutan kepada pengadilan. Dengan demikian maka tidaklah mungkin
likuidasi itu tercapai di dalam waktu yang singkat, sebagai yang diharapkan
oleh masyarakat. Mengingat, bahwa hapusnya tanah-tanah partikelir itu sudah
menjadi tuntutan nasional dan harus diselesaikan di dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya, maka dipandang perlu untuk menyusun baru secara
penghapusan, secara integral, yang dapat dilaksanakan dengan cepat, tetapi
tetap menjamin hak-hak penduduk dan pemberian ganti kerugian yang layak,
sebagaimana ditentukan dalam pasal 27 U.U.D.S. Acara penghapusan yang baru itu
disusun dalam Undang-undang ini.
IV. Sejarah Tanah
Partikelir di Probolinggo
IV.1 Probolinggo
Menjadi Tanah Partikelir
Probolinggo,
kabupaten di bagian timur Provinsi Jawa Timur, sejak masa Kerajaan Mataram
hingga kini merupakan kawasan subur dan kaya hasil bumi. Kawasan ini menjadi
aset bernilai tinggi bagi para penguasa Pulau Jawa dan digunakan sebagai modal
untuk mempertahankan kekuasaannya. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal
Herman Willem Daendels, Probolinggo adalah salah satu kawasan yang dijual
sebagai tanah partikelir demi melancarkan pembuatan Jalan Raya Pos (De Grote
Postweg) Anyer-Panarukan.
Sejarawan
Universitas Indonesia, Djoko Marihandono, mengatakan, kepemilikan Probolinggo
oleh Pemerintah Hindia Belanda diperkuat pasca-Perjanjian Giyanti tahun 1755 —
sebuah momentum terpecahnya kembali Pulau Jawa di tangan beberapa penguasa.
Pangeran Mangkubumi yang kemudian mendapat gelar Sultan Hamengku Buwono I
mendapat setengah bagian dan berkedudukan di Yogyakarta. Setengahnya lagi tetap
dipegang oleh Pakubuwono III. Adapun Pemerintah Hindia Belanda tetap memiliki
kawasan pesisir, termasuk Probolinggo.
Saat
membangun Jalan Raya Pos, Daendels dalam posisi kesulitan keuangan. Blokade
Inggris terhadap Pulau Jawa menyebabkan Daendels sulit mendapat pasokan dana
dari Belanda. Cara praktis pun ditempuh, menjual tanah negara di kawasan
pesisir kepada orang-orang kaya, yaitu Bogor atau Buitenzorg, Tangerang,
Banten, Krawang, Besuki, Panarukan, dan Probolinggo. Probolinggo dijual dengan
harga cukup tinggi, yaitu 1 juta ringgit uang perak. Beberapa kawasan lain,
seperti Buitenzorg, Tangerang, Banten, Krawang, dan Besuki hingga Panarukan
dijual juga seharga 400.000-1,5 juta ringgit perak. Sementara itu, pengamat
sejarah Probolinggo dan anggota tim penelitian dan penelusuran pendahuluan
sejarah berdirinya Kabupaten Probolinggo, Harsito, mengatakan, nilai penjualan
Probolinggo menembus angka 2,5 juta ringgit perak.
Gubernur
Jenderal Meester Herman William Daendels juga banyak menjual tanah negara kepada
bangsa asing. “Transaksi terbesarnya adalah penjualan seluruh kabupaten
Probolinggo di Jawa Timur kepada orang Cina, Han Ti Ko, dengan harga satu juta
dolar. Ini, dan beberapa transaksi lain, murni usaha spekulatif di pihak pembeli. Untunglah Daendels memerintah
cukup lama sehingga sehingga bisa sepenuhnya menjalankan rencana-rencananya,
yang akan berakibat separuh penduduk Jawa terpuruk menjadi hamba sahaya,
taillable et corveable a merci (yang bisa diapakan saja oleh tuannya)” (Vlekke,
1958:283). Pusat Pemerintahan (Kabupaten) dipindahkan di sebelah Selatan
Alun-alun, seperti keadaan sekarang ini.
Tokoh
pedagang kaya asal Probolinggo, Han Ti Ko alias Han Keek Koo, disebut membeli
kawasan ini dari Belanda dengan 20 kali angsuran. Tieanto Handjojo (57) atau
Han Kok Tie, keturunan ketujuh Han Ti Ko, mengatakan, kekuasaan nenek moyangnya
kala itu mencapai kawasan Dringu di timur, Ketapang di barat, Wonoasih di
utara, dan Mayangan di selatan. Dengan wilayah kekuasaannya yang amat luas, Han
Ti Ko disebut-sebut diangkat oleh Belanda sebagai Bupati Probolinggo dengan
masa pemerintahan 1810-1813.Han Ti Ko dianggap berpihak kepada Belanda dan
mengeksploitasi Probolinggo. Warga setempat bergejolak marah, memicu
pemberontakan yang berakhir dengan lengsernya Han Ti Ko.
Pasca
pemberontakan dan seiring menyerahnya Belanda kepada Inggris, Probolinggo
kembali berganti menjadi milik Inggris. Saat kemerdekaan, Probolinggo menjadi
bagian dari Republik Indonesia. Meski terus berganti pemilik, Probolinggo tidak
pernah lepas dari kekayaan tanahnya yang menghasilkan berbagai produk
perkebunan unggulan, seperti tebu, mangga, dan anggur, serta potensi perikanan.
IV.2 Gemeente (Kota)
Probolinggo
Pada
masa Pemerintahan Raden Adipati Ario Nitinegoro, Bupati Probolinggo ke 17,
Pemerintah Hindia Belanda membentuk “Gemeente Probolinggo” (Kota Probolinggo)
pada tanggal 1 Juli 1918. Tanggal 1 Juli 1918 kemudian dijadikan sebagai hari
jadinya Pemerintah Kota Probolinggo. Bersamaan dengan HUT Bhayangkara, tanggal
1 Juli oleh Pemerintah Kota madya Probolinggo telah beberapa kali diperingati
sebagai hari jadi / HUT Pemerintah Kota Probolinggo. Tahun 1926 Gemeente diubah
menjadi Stads Gemeente berdasarkan Stbl 365 Tahun 1926. Gemeente Probolinggo
selanjutnya menjadi Kota Probolinggo berdasarkan Ordonansi pembentukan
kota (Stbl. 1928 No.500).
Sejak
tahun 1918 Gemeente Probolinggo dipegang/dijabat oleh seorang Asisten Residen
(di bawah Karesidenan Pasuruan). Baru tahun 1928 diangkat seorang Burgemeester
(Walikota) sebagai kepala daerah yang berkuasa penuh. Pada tahun 1929
Probolinggo pernah menjadi Ibukota Karesidenan Probolinggo. Burgemeester
(Walikota) Probolinggo pertama ialah Tn. Meyer. Tahun 1935 pangkat Burgemeester
untuk Stadsgemeente Probolinggo dihapus dan sebagai pejabat diangkat Asisten
Residen yang berkedudukan di Probolinggo (1935-1942) yaitu LA. de Graaf dan
diganti L. Noe.
IV.3 Tanah Eks
Partikelir di Probolinggo
Pemerintah
penjajah/Hindia Belanda setelah kekuasaanya di Indonesia diganti oleh
pemerintah/ penjajah Jepang dan kemudian Indonesia menjadi negara merdeka,
berambisi kembali untuk tetap menguasai/menjajah Indonesia. Tanggal 21 Juli
1947 Kota Probolinggo diduduki oleh tentara kolonial Belanda. Diangkatlah
seorang Asisten Residen Bayangan dan sebagai Bergemeester diangkat Saudara
Saroso Harsono menjadi Walikota RI. Pada masa Pemerintahan Raden Soejoed Alip,
Bupati Probolinggo ke 21, Kabupaten Probolinggo pada pertengahan bulan Pebruari
1948 dibagi menjadi 2 (dua), yaitu Kabupaten Kraksaan dan Kabupaten Probolinggo
(berdasarkan Staatsblad 1948 No. 201). Gemeente Probolinggo dihapus dan
disatukan dengan Kabupaten Probolinggo (berdasarkan Staatsblad 1948 No. 306).
Gambar
1. Peta Penggunaan Tanah Kabupaten Probolinggo 2013 (Sumber : Pengolahan
data.2016)
Tanah
bekas partikelir kemudian menjadi tanah Negara dan sebagian besar dikelola
menjadi perkebunan, dengan total luas tanah 1124.37 hektar. Secara spasial
tanah perkebunan tersebar di 7 Kecamatan di Probolinggo yaitu di Kecamatan
Gending, Krucil, Paiton, Sumber, Tiris, Tongas, dan Wonomerto dengan luas tanah
perkebunan terbesar di Kecamatan Krucil.
Penggunaan
|
Luas (Hektar)
|
Danau/Waduk/Situ
|
107.02
|
Hutan
|
47195.20
|
Industri
|
415.92
|
Kebun
|
3351.66
|
Padang
|
1610.96
|
Perkebunan
|
1124.37
|
Permukiman
|
12254.64
|
Persawahan
|
39016.90
|
Pertanian tanah
kering semusim
|
54522.82
|
Sungai
|
162.67
|
Tambak
|
2874.24
|
Tanah terbuka
|
4085.24
|
Total
|
166721.637
|
Tabel
1. Luas Penggunaan Tanah Kab.Probolinggo Tahun 2013 ( Sumber : Pengolahan data
2016)
Kecamatan
|
Luas Perkebunan (Hektar)
|
GENDING
|
15.16
|
KRUCIL
|
469.60
|
PAITON
|
5.01
|
SUMBER
|
57.20
|
TIRIS
|
273.61
|
TONGAS
|
112.70
|
WONOMERTO
|
191.09
|
Total
|
1124.37
|
Tabel
2. Luas Perkebunan di Kecamatan Kab.Probolinggo Tahun 2013 ( Sumber :
Pengolahan data 2016)
Jika
dilihat berdasarkan kepemilikannya maka tanah-tanah perkebunan memiliki jenis
Hak Guna Usaha. Kabupaten Probolinggo terdapat 78 HGU dengan total luas 1945
hektar.
Tabel.3
Jumlah dan Luas HGU Kab.Probolinggo (Sumber : BPN 2016)
V. Kesimpulan
Menjelang
berakhirnya kekusaan VOC di Indonesia, Sejak Belanda dikuasai oleh Prancis maka
kaisar Napoleon mengangkat adiknya Louis Napoleon menjadi penguasa di negeri
Belanda. Louis Napoleon khawatir atas keberadaan Pulau Jawa yang merupakan
jantung jajahan Belanda di Indonesia jatuh ke tangan Inggris. Oleh karena itu
Louis Napoleon kemudian mengirimkan Herman Willem Daendels sebagai gubernur
jenderal di Indonesia.Tanggal 1 Januari 1808 bersama ajudannya mendarat di
Banten. Pada tanggal 15 Januari 1808, Gubernur Jenderal Wiese menyerahkan
keuasaannya kepada Daendels dengan tugas utama yaitu:
1)
Mempertahankan pulau
Jawa agar tidak jatuh ke tangan Inggris
2)
Memperbaiki keadaan
tanah jajahan di Indonesia
Dalam
menjalankan pemerintahannya sebagai gubernur, Herman Willem Daendels melakukan
kebijakan-kebijakan sebagai berikut:
1)
Membangun
ketentaraan, pendirian tangsi-tangsi/ benteng, pabrik mesiu/senjata di Semarang
dan Surabaya serta rumah sakit tentara.
2)
Membuat jalan pos
dari Anyer sampai Panarukan dengan panjang sekitar 1.000 km.
3)
Membangun pelabuhan
di Anyer dan Ujung Kulon untuk kepentingan perang.
4)
Memberlakukan kerja
rodi atau kerja paksa untuk membangun pangkalan tentara.
Usaha
yang dilakukan oleh Daendels membutuhkan banyak biaya untuk menunjang jalannya
program – program yang di jalankan Daendels, sehingga Daendels menempuh
jalan sebagai berikut:
1)
Melaksanakan
Contingenten yaitu keharusan bagi rakyat untuk menyerahkan pajak berupa hasil
bumi
2)
Melaksanakan
Verplichte Leverantie yaitu keharusan bagi rakyat untuk menjual paksa hasil
bumi kepada pemerintah dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah.
3)
Penjualan tanah
kepada orang-orang partikelir (orang Belanda atau Cina, sehingga lahirlah
tanah-tanah milik swasta (particuliere landerijen).
4)
Melaksanakan Preanger
Stelsel yaitu keharusan bagi rakyat Priangan untuk menanam kopi dan perluasan
tanaman kopi karena hasilnya menguntungkan.
Masalah
tanah yang muncul pada masa pemerintahan gubernur Herman Willem daendels adalah
penjualan tanah partikelir yang di jual ke Cina, Arab dan Belanda. Tanah
partikelir tersebar di daerah pedalaman antara lain di Batavia dan Bogor,
Banten, Karawang, Cirebon, semarang, Blora, Lasem, Tuban, dan Surabaya.
Daendels
adalah penganut cita-cita Revolusi Perancis: “Kemerdekaan, persamaan dan
persaudaraan”. Tapi, sebagai seorang penguasa yang revolusioner, ia menjadi
diktator yang bengis. Perbudakan bukannya dilarang tapi dibiarkan jalan terus.
Karena menimbulkan penderitaan dan kebencian rakyat Indonesia, tingkah Daendels
telah menyebabkan banyak pengaduan kepada Louis Napoleon hingga pada tahun 1811
ia dipanggil pulang oleh J.W. Janssens. Berakhirlah karirnya sebagai Gubernur
Jenderal Hindia Belanda.
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan
Wiradi, 2009. Seluk Beluk Masalah Agraria, Yogyakarta: STPN.
Prof. Dr. H. Muchsin, SH, dkk,
2010. Hukum Agraria Indonesia dalam Perspektif Sejarah, Bandung: Refika Aditama
Sediono MP. Tjondronegoro dan
Gunawan Wiradi, 2004. Pembaruan Agraria : Antara Negara dan Pasar dalam Jurnal
Analisis Sosial vol.9 no.1 April 2004, Bandung : Akatiga.
Toer,
Pramoedya Ananta. Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Jakarta: Lentera Dipantara.
2005.
Sartono
Kartodirjo, dkk, 1977, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid IV dan V, Jakarta:
Balai Pustaka.
Agung
Ari Widodo. Sistem Penguasaan Tanah pada masa Pemerintahan Letnan Gubernur
Jenderal Raffles
(1811-1816).http:/bungagung.blogspot.com/2009/2/sistem-penguasaan-tanah-pada-masa.html
Ahmadin.Masalah
Agraria di Indonesia masa Kolonial. http://ahmadinumar.blogspot.com/2012/06/masalah-agraria-di-indonesia-masa.htm
Dwi
Putro Sugiarto. SEJARAH KONFLIK AGRARIA BERKEPANJANGAN DI MASA PRA KEMERDEKAAN.
http://tnrawku.wordpress.com/2012/3/12/sejarah-konflik-agraria-berkepanjangan-di-masa-pra-kemerdekaan/
Gardu
Opini. “PERKEMBANGAN KEKUASAAN BARAT di INDONESIA PASCA VOC” – resume.
http://garduopini.wordpress.com2012/03/28/perkembangankekuasaan-barat-di-indonesia-pasca-voc-resume/
Iwan
Nurdin. Pola Umum Penguasaan Tanah Era Kolonial Di Jawa. http://ppijkt.wordpress.com/2007/12/17/pola-umum-penguasaan-tanah-erakolonial-di-jawa-1/
Mitha
Faruk. Sejarah Indonesia.
http:/mithafaruk111.blogspotcom/2013/02/sejarahindonesia7.html
Comments
Post a Comment